Analisis Yurisprudensi Harta Gono - gini KUHPerdata
ANALISIS YURISPRUDENSI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 410 K/Pdt/1995 TENTANG HARTA GONO-GINI
Taufiq Nugraha
taupiq17@gmail.com
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Untuk mewujudkan perlindungan hukum dan kepastian
hukum diperlukan satu media atau institusi keadilan, yang dapat digunakan
sebagai akses bagi masyarakat untuk mendapatkan rasa keadilan tersebut.
Institusi keadilan dalam sistem hukum modern dewasa ini, salah satunya
diwujudkan dalam satu wadah yaitu badan pengadilan. Lembaga pengadilan ini pada
masa peradaban hukum moderen secara simbolik telah menjadi wujud dari
pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata.
Kelembagaan peradilan ini merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,
sehingga pengadilan wajib memeriksa dan memutus perkara, pengadilan tidak boleh
menolak suatu perkara dengan alasan ketiadaan hukum atau hukumnya tidak jelas
mengaturnya, apabila hakim dihadapkan pada situasi ketiadaan hukum atau hukum
yang tidak jelas, sedangkan perkara harus diselesaikan, hakim wajib mencari
kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat atau hakim dapat berpedoman
pada putusan hakim yang terdahulu (yurisprudensi Mahmakah Agung), memperhatikan
kewajiban hakim yang demikian itu, menunjukan bahwa hakim bukanlah corong
undang-undang melainkan berperan menemukan hukum (rechtsvinding) atau membentuk
hukum (rechtsvorming). Hal ini disebabkan karena yurisprudensi Mahkamah Agung
merupakan salah satu sumber hukum tata pemerintahan faktual di Indonesia.
Didalam hokum positif
yang berlaku di Indonesia, gono gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 119 KHU Perdata,
pasal 85 dan 86 KHI. Pengaturan harta gono-gini diakui secara hokum, baik
secara pengurusan, Penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan tentang gono-gini
juga diatur dalam hokum islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya
percampuran harta kekayaan suami istri, namun ternyata setelah dicermati, dan
dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan.
Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam hokum positif, bahwa kedua
macam harta itu (harta bawaan dan harta perolehan) harus terpisah dari harta
gono gini itu sendiri.
Apabila perkawinan dibubarkan, maka
diadakan pembagian harta kekayaan bersama. Dengan demikian hak pengurusan suami
terhadap harta tersebut dihentikan sejak bubarnya perkawinan.
Pasal 127 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
sebagai berikut:
“Setelah salah seorang dan suami
isteri meninggal, maka bila ada meninggalkan anak yang masih di bawah umur,
pihak yang hidup terlama wajib untuk mengadakan pendaftaran harta benda yang
merupakan harta bersama dalam waktu empat bulan. Pendaftaran harta bersama itu
boleh dilakukan di bawah tangan, tetapi harus dihadiri oleh wali pengawas. Bila
pendaftaran harta bersama itu tidak diadakan, gabungan harta bersama
berlangsung terus untuk keuntungan si anak yang masih di bawah umur dan
sekali-kali tidak boleh merugikannya.”
Apabila hal ini diabaikan, maka
harta kekayaan bersama itu dianggap tetap ada, akan tetapi hanya diakui jikalau
menguntungkan para ahli waris yang belum dewasa.
Pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
sebagai berikut:
"Setelah bubarnya harta bersama,.
kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para
ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII Buku Kedua, mengenai
pemisahan harta peninggalan, berlaku terhadap pembagian harta bersama menurut
undang-undang. “
Pada Putusan
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 Penulis merasa tertarik untuk
menganalisis kasus pada putusan tersebut karena dalam kasus tersebut harta
warisan yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga yang menjadi hak alm.
Ngatminah dan alm. Kastanjam yang sudah meninggal dan tidak mempunyai keturunan
akan tetapi warisannya dinikmati oleh pihak lain karna mengaku sebagai ahli
waris alm. Ngatminah tetapi alm. Kastanjam meninggalkan Saudara.
B. Identikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengaturan
harta gono-gini ?
2.
Bagaimana analisis yurisprudensi dari putusan Mahkamah
Agung. No. 410 K/Pdt/1995?
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS TENTANG
HARTA
GONO GINI DAN YURISPRUDENSI
A. Pengertian Waris
Menurut A. Pitlo , hukum
waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubungan dengan
meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur
yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal,
kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun
dengan pihak ketiga. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum
dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud : perpindahan
kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris,
baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak
ketiga.[1]
Menurut Hilman
Hadikusuma , di dalam KUH Perdata (BW) tidak ada pasal tertentu yang memberikan
pengertian tentang hukum waris. Kita hanya dapat memahami sebagaimana dikatakan
dalam pasal 830 KUH Perdata bahwa „Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian‟. Dengan demikian pengertian hukum waris barat menurut KUHPerdata,
ialah tanpa adanya orang yang mati dan meninggalkan harta kekayaan maka tidak
ada masalah pewarisan.[2]
Vollmar berpendapat
bahwa hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya,
jadi, suatu keseluruhan hak-hak dan kewajiban kewajiban, dari orang yang
mewariskan kepada para warisnya. [3]
Wirjono Prodjodikoro,
mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mengemukakan bahwa hukum waris
adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih
kepada orang yang masih hidup.[4]
B.
Asas – asas Waris Perdata
Dalam hukum waris perdata berlaku
asas-asas yaitu :[5]
1.
Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam
lapangan hukum kekayaan harta benda yang dapat diwariskan.
2.
Adanya saisine bagi ahli waris, yaitu
sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh
hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari
seorang yang meninggal.
3.
Asas kematian, yaitu pewarisan hanya
bisa terjadi karenya meninggalnya pewaris.
4.
Asas individual, yaitu ahli waris
perorangan, secar pribadi menjadi ahli waris bukan kelompok ahli waris.
5.
Asas bilateral, yaitu seseorang bisa mewarisi
harta warisaan dari pihak ayah maupun pihak ibu.
6.
Asas penderajaatan, yaitu ahli waris
yang derajatnya lebih dekat maka akan menutup ahli waris yang derajatnya lebih
jauh dari pewaris.
C. Pengertian
Yurisprudensi
Yurisprudensi sebagai sumber hukum
formal harus dibedakan dengan kata jurisprudence dalam bahasa Inggris.
Kata yurisprudensi berasal dari bahasa latin jurisprudentia yang berarti
pengetahuan hukum. Dalam bahasa Belanda adalah jurisprundentie,
sedangkan dalam bahasa Perancis adalah jurisprudence, Makna yang hendak
di tunjuk kurang lebih sepadan, yaitu hukum peradilan. Sementara itu kata, jurisprudence
dalam bahasa Inggris bermakna teori ilmu hukum, yang lazim disebut general
theory of law (algemene rechtler). Sedangkan untuk menunjuk pengertian
hukum peradilan dalam bahasa inggris digunakan istilah case law atau judge
law-made law.[6]
Menurut Sudikno Mertokusumo,
yurisprudensi ialah sebagai peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak)
yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan
oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari
pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan berwibawa. Namun menurut Van Apeldoorn menyatakan bahwa yurisprudensi,
doktrin dan perjanjian merupakan faktor-faktor yang membantu pembentukan
hukum. Sedangkan Lemaire menyatakan yurisprudensi, ilmu hukum. Di dalam
yurisprudensi terdapat dua asas yang mempengaruhi seseorang hakim itu mengikuti
hakim yang terdahulu atau tidak. Asas-asas itu terdiri dari :
1.
Asas presedent
Asas ini bermakna bahwa seseorang hakim terikat oleh hakim lain, baik yang
sederajat maupun yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain , seseorang hakim
lain dalam memutuskan perkaranya tidak boleh menyimpang dari hakim yang lain,
baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Asas precedent dianut di
negara Amerika Serikat, Inggris, dan Afrika Selatan.
Asas presedent atau dapat juga disebut sebagai stare dicisie
adalah suatu lemabaga peradilan yang lebih dikenal di negara anglo saxon
atau negara common law system. Sejumlah besar putusan yang dibuat hakim
merupakan putusan yang tidak tertulis sebagaimana undang-undang hasil sejumlah
putusan pengadilan ini dihumpun dalam sejumlah besar laporan hukum yang disusun
sejak akhir abad ke-13 kondisi ini dimungkinkan oleh sebab arti harfiah dari stare
decisius adalah “berhenti pada atau mengikuti putusan-putusan”. dengan kata
lain putusan yang diberikan pengadilan merupakan putusan ikutan atau putusan
pengadilan yang terdahulu.
2.
Asas Bebas
Asas ini bermakna bahwa seorang hakim tidak terikat oleh putusan hakim
lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Perkataan tidak terikat
disini diartikan bahwa seorang hakim, dalam memutuskan suatu perkara, boleh
mengikuti putusan hakim terdahulu, baik yang sederajat atau yang lebih tinggi,
boleh juga tidak mengikuti. Asas bebas ini dianut oleh negara-negara eropa
kontinental atau civil law system seperti Belanda, Perancis dan Indonesia.
Ada beberapa alasan mengapa seorang
hakim mengikuti putusan hakim lain atau hakim terdahulu yaitu:
a. Sebab
psikologi, artinya seorang hakim mempunyai kekuasaan, terutama apabila putusan
itu dibuat oleh pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung.
b. Sebab praktis,
artinya seseorang hakim bawahan (pengadilan negeri) secara logis akan mengikuti
putusan yang dibuat oleh hakim yang lebih tinggi kedudukannya.
c. Sebab
keyakinan, artinya hakim pemutus setuju atau sependapat dengan putusan hakim
terdahulu.
Kedua asas di atas Indonesia
menganut keduanya. Di Indonesia juga dikenal yang namanya yurisprudensi
Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara
dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga
yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang telah
beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu
perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat
secara relatif.
Penting atau tidaknya yurisprudensi
sebagai sumber hukum dikaitkan dengan pikiran-pikiran atau aliran-aliran
tentang tugas seorang hakim. Menurut aliran Legalisme, yurisprudensi
dianggap tidak atau kurang penting, sebab satu-satunya hukum adalah
undang-undang. Dengan demikian praktik pekerjaan hakim hanyalah pelaksana
undang-undang.
Menurut aliran freie
rechtsbewegung, yurisprudensi dianggap mempunyai makna yang sangat penting,
aliran ini berangapan bahwa dalam melaknsakan tugasnya, seorang hakim bebas
apakah ia akan menurut atau tidak menurut undang-undang, memahami yurisprudensi
hal yang primer sementara ,e,ahami undang-undang merupakan hal sekunder.
Menurut aliran rechtsvinding,
disamping memiliki keterikatan kepada undang-undang seorang hakim juga memiliki
kebebasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Aliran ini merupakan jalan
tengah antara aliran legalisme dan freie rechtsbewegung.
Yurisprudensi bisa lahir berkaitan dengan adanya
prinsip di dalam hukum bahwa hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara
yang diajukan kepadanya. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 pasal 27 ayat (1)
menentukan “bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat “
berkenaan dengan ketentuan tersebut maka dalam menangani perkara hakim
dapat melakukan :[7]
1. Mengeterapkan
secara in concreto aturan-aturan hukum yang sudah ada (secara in
abstracto) dan berlaku sejak sbeleumnya.
2. Mencari
sendiri aturan-aturan hukum berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Pengaturan mengenai hakim tidak
boleh menolak perkara berkaitan dengan tidak adanya hukumnya atau tidak ada
kejelasan serta Hakim wajib mencari dan menemukanhukum terdapat juga pada UU No
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan kehakiman. Masalah lain yang berkaitan dengan hal tersebut ialah
bahwa dengan adanya kewenangan bagi hakim untuk membuat tafsiran terhadap
aturan yang ada maka berarti hakim mempunyai hak uji materil (yudicial
review).
Di dalam Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi berhak menguji materi mengenai Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Mahkamah Agung berhak
menguji materil peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tingkat kasasi harus
mampu menyelesaikan suatu perkara yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat,
hukumnya tidak ada atau ketiadaan hukum, hukumnya tidak jelas mengaturnya.
Apabila hakim Mahkamah Agung dalam
perkara kasasi dihadapkan pada situasi ketiadaan hukum atau hukum yang tidak
jelas, aturan hukum memuat rumusan yang sangat umum untuk kejadian yang tidak
terbatas, sedangkan hakim dihadapkan pada kejadian yang spesifik dan
individual, aturannya tidak jelas, terdapat beberapa peraturan yang mungkin
dapat diterapkan pada sebuah kejadian, tidak terdapat satupun aturan yang dapat
diterapkan sehingga menimbulkan kekosongan hukum atau dengan kata lain hukumnya
tidak ada maka disinilah letak yurisprudensi berperan untuk menemukan hukum.
Seiring dengan permasalahan tersebut
perkara harus diselesaikan, maka hakim wajib mencari kaidah-kaidah hukum yang hidup
dalam masyarakat. Sehingga sebelum putusan Mahkamah Agung menjadi
yurisprudensi, hakim memiliki kewajiban untuk menemukan hukum (rechtsvinding)
atau membentuk hukum (rechtsvorming). Biasanya terdapat beberapa
persoalan, yaitu: dalam menyikapi masalah tersebut hakim dapat menggunakan
teknik penemuan hukum dengan metode interpretasi. Berikut beberpa interpretasi
yang sering digunakan hakiam untuk memetus suatu perkara :
1.
Interpretasi Gramatikal atau Interpretasi bahasa,
yaitu: cara penafsiran berdasarkan bunyi ketentuan Undang-Undang dengan
berpedoman pada arti perkatan-perkataan.
- Interpretasi Sahih (autentik resmi), yaitu
penafsiran yang pasti terhadap arti kata sebagaimana yg diberikan oleh
pembentuk undang-undang.
- Interpretasi Historis (Sejarah), yaitu:
Interpretasi berdasarkan pemeriksaan atau penelitian sejarah undang-undang
atau hukum tertulis, misalnya: pada memori penjelasan dan risalah
pembicaraaan pada komisi pembahasan pada badan perwakilan atau parlemen.
- Interpretasi Sistematis (dogmatis), mencari makna
dari sebuah kaidah dengan mangacu kepada hukum sebagai suatu sistem,
khususnya tatanan perundang-undangan atau hubungnnya dengan kaidah-kaidah
lain yang berkaitan
- Interpretasi Teologis, Interpretasi ini mencari
makna suatu kaidah dari tujuan dan asas yang melandasi kaidah hukum yang
bersangkutan, kaidah hukum yang dilandasai oleh asas-asas dan tujuan
tertentu, penerapan kaidah itu harus memenuhi tujuan itu
- Interpretasi Interdisipliner, yaitu menafsirkan
suatu ketentuan yang menggunakan logika menurut beberapa cabang ilmu hukum
- Interpretasi Multidisipliner, yaitu menafsiran
suatu ketentuan yang melakukan verifikasi dan bantuan dari cabang-cabang
ilmu lain.
- Penafsiran nasional, yaitu penafsiran sesuai
ideologi negara Pancasila
- Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan
memperluas arti kata dalam peraturan yang ada.
- Penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan
mempersempit atau membatasi kata,
- Penafsiran analogis, yaitu penafsiran dengan
member ibarat atau kiyasan.
- Penafsiran a contrario, yaitu penfsiran
pengingkaran
D.
Pengertian Harta Gono – Gini
Istilah “gono-gini” merupakan sebuah
istilah hukum yang popular di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
istilah yang digunakan adalah “gono-gini”,yang secara hukum artinya, ”Harta
yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua
suami dan istri’. Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, pengertian harta
gono-gini yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.
Sebenarnya, istilah hukum yang
digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di
tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI),
adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan
dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman
memberikan definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami
istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya
bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga.[8]
Di berbagai daerah di tanah air
sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian
harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adapt
yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini
diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan harta
suarang; di Sunda digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe
gabro; dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.[9]
Dengan berjalannya waktu,rupanya
istilah “gono-gini” lebih populer dan dikenal masyarakat,baik digunakan secara
akademis,yuridis,maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada
umumnya.
E.
Kaitan Harta Bersama Dengan Perjanjian Perkawinan
Pasal 127
menitikberatkan harta persatuan yang berajalan terus. Pasal tersebut mengatur,
bahwa akibat kelalaian suami atau istri yang hidup terlama mengadakan
pedaftaran/investarisasi barang-barang yang merupakan harta benda persatuan,
maka persatuan harta itu berjalan terus atas kebahagiaan anak-anak yang belum
dewasa dan sesekali tidak atas kerugian mereka. Bagian anak-anak yang belum
dewasa di dalam harta persatuan yang berjalan terus berjumlah selalu kurang
dari setengahnya karena suami atau isteri yang hidupterlama ikut mewaris dari
yang meninggal itu.[10]
Yang dimaksud dengan
perjanjian perkawinan bukanlah janji seorang calon suami untuk mengawini calon
istrinya, melainkan perjanjian yang diadakan ketika perkawinan dilangsungkan
mengenai harta misalnya apakah semua harta kedua belah pihak akan digabungkan
sejak perkawinan itu ataukah tetap terpisah, masing-masing akan memiliki harta
dan penghasilannya sendiri, sebab tanpa perjanjian perkawinan dengan sendirinya
berlakulah ketentuan bahwa harta yang ada sebelum perkawinan (harta asal) akan
tetap menjadi milik masingmasing, sedangkan yang diperoleh bersama sejak
dilangsungkannya perkawinan akan menjadi harta bersama, kelak akan dibagi dua
apabila perkawinan berakhir, baik karena cerai hidup maupun karena kematian,
masing-masing akan mendapatkan separuhnya.[11]
Dalam hukum perdata BW
Perjanjian mulai berlaku antara suami istri pada saat pernikahan ditutup di
depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap pihak ketiga sejak
hari pendaftarannya di Kepaniteraan pengadilan agama setempat dimana pernikahan
dilangsungkan. Seseorang tidak boleh menyimpang dari peraturan tentang saat
mulai berlakunya perjanjian ini. Dan juga tidak diperbolehkan menggantungkan
perjanjian pada suatu kejadianyang terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga
terdapat suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga, misalnya suatu
perjanjian antara suami dan istri akan berlaku percampuran laba-rugi kecuali
jikalau dari perkawinan mereka dilahirkan seorang anak laki-laki. Perjanjian
semacam ini tidak diperbolehkan.
Menurut Happy Susanto
perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon
pengantin, baik laki-laki maupun perempuan, sebelum perkawinan mereka
dilangsungkan, dan isi perkawinan tersebut mengikat isi perkawinan mereka.
Secara umum perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta bersama calon
suami istri, yaitu bagaimana harta bersama akan dibagi jika terjadi perpisahan
hubungan antara keduannya, baik karena adanya peceraian atau kematian atau
bahkan poligami.[12]
Setiap pasangan yang
akan membuat perjanjian perkawinan pastinya bertujuan untuk memperjelas dan
mengarahkan kepentingan mereka dalam menentukan ketentuan-ketentuan apa saja
yang perlu diterakan dalam isi perjanjian. Soetojo Prawirihamidjojo,
sebagaimana dikutip oleh Happy Susanto mengemukakan ada enam tujuan dibuatnya
perjanjian perkawinan, yaitu:
1. Membatasi
dan menetapkan harta bersama atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta
kekayaan menurut Undang-Undang.
2. Mengatur
pemberian hadiah dari suami kepada istri, atau pemberian hadiah timbal balik
antara suami istri.
3. Mengatur
kekuasaan suami terhadap barang-barang harta bersama, sehingga tanpa bantuan
istrinya suami tiadak dapat melakukan tindakan yang sifatnya memutus.
4. Mengatur
pemberian testamen dari suami untuk istri atau sebaliknya, atau sebagai hibah
timbal balik.
5. Mengatur
pemberian hadiaholeh pihak ketiga kepada istri atau suami.
6. Mengatur
testamen dari pihak ketiga kepada suami atau istri.
Adapun manfaat dari
perjanjian perkawinan itu sendiri adalah untuk melindungi secara hukum harta bawaan
masing-masing pihak suami istri. Dalam perkawinan poligami perjanjian
perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum supaya hak-hak yang dimiliki
istri yang dinikahi terlebih dahulu lebih terjamin. Karena bagai manapun juga
suka duka dalam mengarungi kehidupan rumah tangga lebih dirasakan oleh istri
yang dinikahi terlebih dahulu terutama dalam mengumpulkan harta kekayaan.[13]
F.
Syarat – Syarat Terjadi Pewarisan
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi
syarat-syarat yaitu :
1.
Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meningal dunia,sebagaimana
disebutkan dalam pasal 830 KUH Perdata. Matinya pewaris dapat dibedakan menjadi
:
a).
Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh ( mati hakiki) , yaitu dapat
dibuktikan dengan panca indera bahwa ia telah benar-benar mati.
b) Mati demi hukum,
dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu tidak diketahui
secara sungguh-sungguh
menurut kenyataan yang dapat dibuktikan
bahwa ia sudah mati.
2. Syarat yang
berhubungan dengan ahli waris
Orang yang berhak atau
ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada
atau masih hidup saat
kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris
dimungkinkan dengan :
a) Hidup secara nyata,
yaitu menurut kenyataan memang benar-benar
masih hidup, dapat
dibuktikan dengan panca indera.
b) Hidup secara hukum,
yaitu tidak diketahui secara kenyataan masih
hidup. Dalam hal ini
termasuk juga bayi yang dalam kandungan ibunya
( pasal 1 ayat 2 KUH
Perdata).
G.
Cara Mendapatkan Warisan
Dalam KUH Perdata ada dua cara untuk mendapatkan
sebuah warisan dari pewaris, yaitu :
1. Secara ab
intestato ( pewarisan menurut undang-undang). Pewarisan menurut
undang-undang yaitu pembagian warisan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan
darah yang terdekat dengan pewaris yang ditentukan oleh undang-undang. Ahli
waris menurut undang-undang berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan,
yaitu :[14]
a) Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus
kebawah, meliputi anak
anak beserta keturunan mereka beserta suami istri
yang ditingglkan atau
yang hidup paling lama.
b) Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus
keatas, meliputi orang tua
dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta
keturunan mereka.
c) Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan
leluhur selanjutnya keatas
dari pewaris.
d) Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam
garis ke samping
dan sanak keluarga lainnya.
2. Secara testamentair ( ahli waris karena di tunjuk dalam suatu wasiat atau testamen
). Surat wasiat adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang
dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat adalah
mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan
tidak dapat ditarik kembali. Pemberian seseoraang calon pewaris berdasarkan
surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapus hak untuk mewaris secara ab intestato.[15]
H. Tidak Layak Menjadi Ahli Waris
Terdapat sebab-sebab menurut undang-undang ahli
waris tidak patut (onwaardig)
menerima warisan dari pewaris. Ahli waris yang menurut undang-undang
yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan secara ab intestato dalam pasal 838, 839 dan 840 KUH Perdata adalah :[16]
a)
Mereka yang telah dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
b)
Mereka yang dengan putusan Hakim pernah
dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si
pewaris, ialah suatu pengaduan telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam
hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
c)
Mereka yang dengan kekerasan atau
perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d)
Mereka yang telah menggelapkan, merusak
atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan
tidak patut menerima warisan dalam pasal 912 KUH Perdata, ialah :
a)
Mereka yang telah dihukum karena
membunuh pewaris.
b)
Mereka yang telah menggelapkan,
membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
c)
Mereka yang dengan paksaan atau
kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah sura
wasiatnya.
I. Ahli Waris Pengganti
Ada
tiga macam pergantian tempat dalam KUH Perdata :[17]
1.
Penggantian dalam garis lurus menurun, dalam Pasal 842 dan Pasal 843 KUH
Perdata Pasal 842 berbunyi :
“Penggantian yang terjadi dalam
garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu
diijinkan dalam segala hal, baik bila anakanak dari orang yang meninggal
menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan maupun dari anak
yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris
bersama-sama, seorang dengan yang lain, dalam pertalian keluarga yang
berbeda-beda derajatnya”.
Pasal 843 berbunyi :
“Tidak ada penggantian terhadap keluarga
sedarah dalam garis lurus keatas. Keluarga sedarah terdekat dalam kedua garis
itu setiap waktu menyampingkan semua keluarga yang ada dalam derajat yang lebih
jauh”
2.
Penggantian dalam garis menyimpang, keuntungan para keturunan dari
saudara
laki-laki dan saudara perempuan, dalam Pasal 844 KUH Perdata berbunyi :
“Dalam garis menyimpang pengantian
diperbolehkan demi keuntungan semua anak dan keturunan saudara laki dan
perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik jika mereka menjadi ahli
waris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun jika warisan itu,
setelah meninggalnya semua saudara yang meninggal lebih dahulu, harus dibagi di
antara semua keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian keluarga
dalam derajat yang tidak sama.”
3.
Penggantian dalam garis menyimpang (lebih jauh dari para saudara laki-laki dan
saudara perempuan) dalam Pasal 845 KUH Perdata berbunyi :
“Penggantian juga diperkenankan dalam
pewarisan dalam garis kesamping, bila di samping orang terdekat dalam hubungan
darah dengan orang yang meninggal, masih ada anak atau keturunan saudara
laki-laki atau perempuan dari mereka yang tersebut pertama”
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Pengaturan
Harta Gono – Gini
a. Dasar hukum harta gono-gini
Pada dasarnya,
tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri
(harta gono-gini) .Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat
istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian
didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita.
Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut
tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.
Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat
ditelusuri melalui Undang-Undang ,hukum islam, hukum adat dan peraturan
lain,seperti berikut : [18]
1. UU
perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa “ harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa
perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya
perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini.
2. KUHPerdata
pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat
dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan
lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan
berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara
suami istri”.
3. KHI
pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta
bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan
harta dalam perkawinan (gono-gini).
4.
KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali
dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada
percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan”.
b. Terjadinya harta persatuan
Hukum
yang menentukan hubungan antarpribadi mengenai kepentingan yang bernilai uang
Prinsip dasar Harta Kekayaan dalam Perkawinan menurut KUH Perdata adalah
Persatuan Bulat dan Utuh. Persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri
berlaku demi hukum sejak saat perkawinan berlangsung, kecuali sebelumnya telah
diadakannya perjanjian kawin diantara mereka, yang bertujuan untuk menyimpangi
ketentuan mengenai harta kekayaan perkawinan.
Berbeda
dengan sistem hukum harta kekayaan perkawinan lainnya, pada sistem hukum harta
kekayaan perkawinan menurut KUH Perdata tidak mengenal istilah “Harta asal
maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan,
sebab harta kekayaan perkawinan dalam KUH Perdata dari siapa pun juga,
merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih
dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam KUH
Perdata tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal
barang-barang dalam perkawinan.
Pasal 849 KUH
Perdata menyatakan bahwa:
“Undang-undang
tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu
peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”.
Pasal 127
KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Setelah
meninggalnya salah seorang dari suami-istri, maka, jika ada anak – anak yang
belum dewasa yang ditinggalkannya, si suami atau si istri yang hidup terlama,
dalam waktu selama tiga bulan harus menyelenggarakan pendaftaran akan barang –
barang, yang merupakan harta benda persatuan. Pendaftaran ini boleh
diselenggarakan dibawah tangan, akan tetapi harus dengan hadirnya wali
pengawas. Dalam hal tak adanya pendaftaran yang demikian, persatuan itu
berjalan terus menerus, akan tetapi atas kebahagiaan si anak –anak belum
dewasa, dan tidaklah sekali-kali atas kerugian mereka.“
Bunyi
pasal tersebut harta persatuan yang berjalan terus pada awalnya merupakan harta
persatuan biasa sesuai dengan asas perkawinan KUHPerdata mengenai harta
perkawinan itu sendiri yang mana mengatur asas persatuan bulat harta, harta persatuan
berjalan terus ini adanya ketika dalam permasalahan pewarisan yang mana di
golongkan dalam bab harta persatuan perkawinan, jika salah satu suami istri
yang meninggal dan meninggalkan seorang anak yang belum dewasa tanpa adanya
pendaftaran maka harta tersebut dibilang harta persatuan yang berjalan terus
maksudnya harta tersebut sama dengan harta persatuan yang dimana tidak ada yang
meninggal sedangkan jika terjadi pendaftaran maka harta tersebut menjadi harta
bawaan.
Sehingga
berpengaruh terhadap pembagian waris. Sebab dalam Pasal 126 mengenai bubarnya
harta persatuan salah satunya adalah karena “kematian” hal ini merupakan
penjelasan bagaimana harta persatuan yang akan hilang dalam hal persatuan
berjalan terus menjadi suatu pengecualian , sebab walaupun adanya kematian dan
menurut Pasal 126 KUHPerdata harusnya harta persatuan itu bubar , dalam hal
masih ada anak dibawah umur dan tidak adanya suatu pendaftaran dalam waktu tiga
bulan maka harta persatuan tersebut akan terus berlangsung bukan menjadi pembubaran
harta persatuan , kecuali ketentuan Pasal 126 KUHPerdata jika pembubaran harta
persatuan itu akan terjadi apabila terjadi pendaftaran. Dalam pendaftaran
diperbolehkan dengan cara dibawah tangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUH
Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
3. akta dibawah tangan
4. akta otentik
Hal ini
pendaftaran mengenai harta persatuan tersebut bisa dalam bentuk di bawah tangan
dengan adanya wali pengawas.
B. Analisis
yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995
Dalam perkawinan antara suami istri almarhum Kastanjam
dan almarhum Ngatminah yang keduanya telah meninggal dunia, dimana dalam
perkawinan tersebut tidak dikaruniai anak dan tidak mengangkat anak, lalu alm.
Ngatminah tidak mempunyai saudara, sedangkan alm. Kastanjam mempunyai saudara
kandung yang bernama Waturi dan Karbunga.
Dengan meninggalkan harta kekayaan berupa tanah
pekarangan dan bangunan rumah dalam Buku C Desa No. 656, persil No. 3d.1, yang
letak, luasnya serta batas-batasnya seperti tersebut dalam gugatan, dan tanah tegalan dengan persil No. 17b,
d.III yang letak, luas serta batas-batasnya seperti tersebut dalam gugatan.
Bahwa tanah tegalan kecil dari tanah tegalan
ada yang dijual Nuryani kepada tergugat, tanah tegalan sejak meninggalnya
Ngatminah dinikmati para Tergugat asli, maka sudah sewajarnya tergugat asli
dibebani ganti rugi sejak tahun 1986. Karena alm. Kastanjam tidak mempunyai
anak, maka sewajarnya tanah sengketa diserahkan kepada para penggugat asli
sebagai ahli warisnya.
Gugatan tersebut oleh Pengadilan Negeri Lamongan
, dikabulkan harta kekayaan berupa tanah pekarangan dan bangunan rumah serta
tanah tegalan menjadi milik penggugat yang merupakan ahli waris alm Kastanjam,
dan tergugat tidak didukung dengan alat bukti yang kuat. Berikut alasan PN
Lamongan :
1.
Tanah yang dua bidang semenjak tahun 1950 dikerjakan oleh
keluarga Monan (suami Tergugat l) dan dalam pembagian warisan yang dilakukan
oleh alm. Nagtminah tanah tersebut ternyata tidak ikut dibagi;
2.
Pengakuan dari para Penggugat maupun dari keterangan
saksi Nursalim yang menerangkan bahwa para Penggugat sebagai wakil dari
keluarga Kastanjam yang akan menerima harta gono gini hanya mendapatkan tanah
satu bidar.g untuk dua orang sedangkan sisanya seluruhnya diambil Ngatminah.
Kemudian oleh Ngatminah bersama Nuryani tanah tegalan dijual kepada H. Muchid;
3.
Pengakuan oleh para Tergugat dan setelah Hakim melakukan
pemeriksaan setempat memperoleh gambaran yang jelas bahwa pembagian harta gono
gini tersebut belum adil, maka demi adilnya para Penggugat yang baru menerima
satu petak tanah tegal harus ditambah dengan tanah pekarangan beserta rumahnya;
4.
Dengan alasan alasan tersebut maka PN Lamongan memberikan
pertimbangan bahwa gugatan Rekonpensi harus ditolak karena permohonan
pengangkatan anak mempunyai cara tersendiri, demikian juga pengesahan jual beli
tanah antara H. Basyir dengan suami Tergugat | juga harus ditolak karena tidak
didukung oleh alat-alat bukti yang sah, demikian juga permohonan Nuryani dan
Wahyuti sebagai ahli waris dari Ngatminah juga harus ditolak karena tidak
didukung oleh alat bukti yang kuat.
Kemudian Tergugat mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Surabaya , namun dalam amar putusan banding tidak diterima
oleh PT Surabaya dengan alasan dalil – dalil yang dikemukakan oleh tergugat
mengandung ketidakjelasan mengenai tanah sengketa Dengan alasan bahwa Eksepsi yang
dikemukakan oleh Tergugat Konpensi/Penggugat Rekonpensi/Pembanding tidak
jelas disebutkan siapa nama orang serta identitas selengkapnya dari pihak
ketiga, yang dimaksud menguasai tanah sengketa, maka oleh karena itu eksepsi tersebut
harus dinyatakan tidak dapat diterima. Serta alasan mengenai pokok perkara bahwa
dalam point gugatan tentang tanah sengketa pada butir 4b identitas tanah
sengketa disebutkan dua kali tetapi batasnya sama sehingga menimbulkan
ketidakjelasan akan kepastian tanah sengketa apalagi hasil pemeriksaan ditempat
tidak disebutkan tentang kebenaran tanah sengketa pada butir 4b dalam gugatan
baik nomor persil maupun luas tanah sengketa, bahwa Penggugat Konpensi/Tergugat
Rekonpensi/Terbanding dalam gugatannya tidak menerangkan dengan jelas berapa
luas tanah dan batas-batas tanah sengketa pada butir 4b dijual kepada Tergugat
Ill/ikut Terbanding maka dengan demikian menunjukkan ketidak pastian atas luas
tanah sengketa dan dikemudian hari akan menemui kesulitan seandainya terjadi
eksekusi atas tanah sengketa; bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut amak
gugatan kabur atau tidak sempurna sehingga dinyatakan tidak dapat diterima.
Ditingkat kasasi melihat pertimbangan
Pengadilan Negeri, Putusan Pengadilan Negeri, Pertimbangan Pengadilan Tinggi,
Putusan Pengadilan Tinggi dan Kasasi, Mahkamah agung mempertimbangkan :
Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan karena judex facti telah salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan bahwa sesuai dengan B.A.P. setempat tanggal 13 Maret 1993,
PN telah mengadakan pemeriksaan setempat yang hasilnya batas tanah sengketa
tersebut sesuai dengan batas tanah yang ada pada gugatan para Pemohon
Kasasi/Penggugat asal, oleh sebab itu obyek gugatan sudah jelas, dengan
demikian terbukti bahwa obyek sengketa merupakan peninggalan alm. Kastanjam,
sehingga para Pemohon Kasasi/Penggugat asal sebagai ahli waris alm. Kastanjam
berhak atas obyek sengketa, dengan demikian pertimbangan hukum dan putusan PN
sudah tepat dan benar.
Dengan demikian Mahkamah Agung memutus:
1.
Mengabulkan permohonan Kasasi dari para Pemohon Kasasi
tersebut
2.
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 31
maret 1994 No. 685/Pdt/ 1993/PT. Sby;
Mengadili sendiri:
Dalam Konpensi:
Dalam Eksepsi:
1.
Menolak eksepsi Tergugat I
Dalam pokok perkara:
1.
Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian
2.
Menyatakan bahwa para penggugat adalah ahli waris yang
sah dari alm. Kastanjam
3.
Menyetakan bahwa tanah pekarangan rumahnya dalam buku C
desa No. 656, persil No. 3d.1, luas 0,009 Ha atas nama Kastanjam adalah harta
peninggalan kastanjam yang merupakan hak para penggugat
4.
Memerintahkan kepada siapa saja yang menguasai tanah dan
rumah tersebut diatas baik langsung maupun tidak langsung, untuk menyerahkan
kepada para penggugat dalam keadaan kosong dan bilamana perlu dengan bantuan
alat Negara.
Yang termasuk dalam gono gini adalah semua
kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, dengan kegiatan suami
isteri bersama. Namun tidak usah dibuktikan mengenai tiap-tiap barang atau
kekayaan berapa sahamnya masing-masing dalam memperolehnya; semua barang atau
kekayaan yang diperoleh dalam masa perkawinan dianggap sebagai gono gini.
Di dalam masyarakat Indonesia, secara
teoritis sistem kekerabatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sistem
patrilineal, sitem matrilineal dan sistem parental atau bilateral. Masyarakat
Jawa sendiri menganut sitem parental atau bilateral yang dimana sistem ini
menarik garis keturunan dari kedua belah pihak Bapak dan ibu. Sudah selayaknya
bahwa dipulau Jawa, dimana pada umunya si isteri mempunyai saham yang sama
dalam mencari nafkah atau penghidupan untuk keluarganya, masing-masing berhak
atas separuh dari kekayaan bersama itu.
Pembagian waris berkenaan dengan harta
gono-gini menurut putusan tersebut adalah warisan yang berasal dari harta
gono-gini haruslah dibagi secara adil kepada semua ahli warisnya, dimana pada
kasus tersebut pewaris yang tidak mempunyai
anak sebagai pewaris di golongan pertama, sementara si pewaris hanya
meninggalkan saudara kandung maka secara
langsung warisan tersebut menjadi hak saudara kandung tersebut karena merupakan
ahli waris pada golongan kedua. Sesuai dengan Pasal 856 KUHPerdata yang isinya,
“Apabila simeninggal dunia dengan tidak
meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan baik bapak maupun
ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian
saudara laki-laki dan perempuan dari si meninggal”. Jadi sudah jelas bahwa
memang seharusnya pada kasus tersebut Waturi dan Karbungalah yang berhak atas
pewarisan dari alm. Kastanjam sebagai ahli warisnya
Dari kasus,diatas, sesuai dengan Pasal 834
KUHPerdata, “Tiap-tiap waris berhak
memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka,
yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hakpun menguasai
seluruh atau sebagaian harta peninggalan”, jadi penggugat sudah tepat
mengajukan gugatan , karena ada hubungan kekerabatan dengan ahli waris , Gugatan demikian adalah untuk menuntut, supaya
diserahkan kepadanya, segala apa yang dengan dasar hak apapun juga terkandung
dalam warisan beserta segala hasil, pendapatan dan ganti rugi, menurut
peraturan termaktub dalam bab ketiga buku ini terhadap gugatan akan
pengembalian barang milik.
Pasal 834 KUHPerdata mengatur bahwa ahli
waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua
orang yang memegang penguasaan atas
seluruh atau sebagian warisan itu dengan atas hak ataupun tanpa hak, demikian
pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan penguasannya. Dalam
putusannya Yurisprudesi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 tersebut menyatakan
bahwa tanah pekarangan rumahnya dalam buku C desa No. 656, persil No. atas nama
Kastanjam adalah harta peninggalan kastanjam yang merupakan hak para penggugat.
Penggugat disini sebagai ahli waris yang sesuai dengan Pasal 856 KUHPerdata
karena simeninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau
istri, sedangkan baik bapak maupun ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka
seluruh warisan adalah hak si penggugat karena merupakan saudara laki-laki dan
perempuan dari si meninggal.
BAB IV
SIMPULAN
1.
Harta gono-gini
yaitu harta perolehan selama bersuami istri. Harta gono-gini diatur dalam BW
dan KHI , dan UU perkawinan , UU perkawinan Pasal 35 ayat menyebutkan bahwa “ harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa
perkawinan”. Di dalam BW terdapat pada Pasal 119 ,disebutkan bahwa “sejak saat
dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan
lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan
berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara
suami istri”. Di dalam KHI terdapat pada Pasal 85dan pasal 86 ,disebutkan
bahwa “adanya harta bersama dalam
perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam
perkawinan (gono-gini). pasal 86 ayat
1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada
dasarnya tidak ada percampuran harta
antara suami dan istri karena perkawinan”.
2.
Yurisprudensi sebagai sumber hukum formal adalah keputusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang diikuti atau dipergunakan oleh
hakim berikutnya sebagai sumber hukum untuk memutus perkara yang serupa atau
sama. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995, harta waris yang
dinikmati pihak lain , sedangkan pewaris tidak meninggalkan anak sebagai
pewaris tetapi pewaris mempunyai saudara , maka menurut hakim saudaranya lah
yang berhak atas warisan tersebut, sesuai dengan Pasal 834 BW bahwa setiap ahli
waris berhak mengajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya dalam kasus
ini hak warisnya dinikmati oleh orang lain , serta dikuatkan dengan Pasal 856
BW bahwa apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah dan ibu pewaris telah
meninggal terlebih dahulu, maka harta waris menjadi milik saudaranya , maka di
sini jelas saudara dari alm. Kastanjam yaitu Waturi dan Karbunga berhak atas
harta warisan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
.
A. Pitlo, Hukum
Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata Belanda, Intermasa Jakarta,
1986.
Abdul Rahmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum,
Banyumedia Publishing, Malang , 2005.
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
Andi Tahir Hamid, Peradilan Agama dan Bidangnya, Persada, Jakarta,2001.
Effendi Perangin, Hukum Waris, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016
Fatchur Rachman, Ilmu
Waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 2010.
H.F.A. Vollmar, Pengantar
Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers , Jakarta:, 1992.
Happy Susanto, Pembagian
Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, Pustaka Setia, Jakarta,
2002.
Hilman Hadikusuma,
Hukum perkawinan Indonesia menurut perundangan, hukum adat, hukum agama,
Mandar Maju , Bandung, 1990.
Mukhtar Zamzami,
Perempuan & Keadilan dalam Hukum Kewarisan Indonesia, Prenada Media
Group, Jakarta, 2013.
S.F
Marbun dan Moh. Mahfud MD. Pokok-Pokok
Adminitrasi Negara, Liberty, Yogyakarta , 2006.
Peraturan Perundang – Undangan :
Undang – Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
Kitab Undang – Undang
Hukum Perdata
Sumber Elektronik:
Finansialku,
6-asas-utama-waris-menurut-hukum-waris-perdata Melalui : <https://www.finansialku.com/6-asas-utama-waris-menurut-hukum-waris-perdata/>
diakses 21 Mei 2018 Pukul 21.00
[1] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum
Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 7.
[2] Hilman Hadikusuma, Hukum perkawinan Indonesia menurut
perundangan, hukum adat, hukum agama, Mandar Maju , Bandung, 1990, hal.5
[3] H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali
Pers , Jakarta:, 1992, hlm. 373.
[4] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata Belanda,
Intermasa Jakarta, 1986,hlm. 1
[5]Finansialku, 6-asas-utama-waris-menurut-hukum-waris-perdata Melalui : <https://www.finansialku.com/6-asas-utama-waris-menurut-hukum-waris-perdata/>
diakses 21 Mei 2018 Pukul 21.00
[6] Abdul Rahmad Budiono, Pengantar
Ilmu Hukum, Malang : Banyumedia Publishing 2005. Hlm 130.
[7] S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD.
Pokok-Pokok Adminitrasi Negara. Yogyakarta : Liberty 2006 jlm 36.
[8] Fatchur Rachman, Ilmu Waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung,
2010, hlm. 45
[9] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, Bulan
bintang, Jakarta, 1965 hal 18
[10]Effendi Perangin, Hukum Waris, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2016, hlm. 222.
[12]Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya
Perceraian, Pustaka Setia, Jakarta, 2002, hlm. 80
[13]Ibid, hlm 83
[14] Mukhtar Zamzami, Perempuan & Keadilan dalam Hukum
Kewarisan Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 49.
[18] Undang-undang RI nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, bandung, 2010
Komentar
Posting Komentar