Konflik Laut Cina Selatan
KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Taufiq Nugraha
taupiq17@gmail.com
A.
Latar Belakang Sengketa Laut Cina
Selatan
Laut
Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan
potensi geografis yang sangat besar. Sumber daya alam yang dimiliki Laut Cina
Selatan berupa minyak bumi dan gas alam yang terkandung di dalamnya dengan
jumlah yang cukup besar, serta memiliki potensi geografis, karena kawasan
tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut
perdagangan internasional). Maka penulis berpendapat bahwa yang melatar
belakangi terjadinya sengketa di kawasan Laut Cina Selatan adalah Faktor SDA
dan klaim wilayah.
1. Faktor SDA
Kawasan
Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan
kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Sehingga
menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi kerja
sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan
minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalamnya, serta peranannya yang sangat
penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan
kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama
bertahun-tahun.
Hal
ini dapat diketahui sejak tahun 1947 hingga saat ini tahun 2013. Dimana
terdapat pertikaian atau saling klaim antara negara yang mengaku memiliki dasar
kepemilikan berdasarkan batas wilayah laut atau perairan, seperti Republik
Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam.
Selain saling klaim di antara negara-negara yang berlokasi di perairan Laut
Cina Selatan tersebut, juga terdapat kepentingan-kepentingan negara-negara
besar seperti : Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa Barat, Jepang,
Korea, Taiwan dalam hal keperluan pelayaran dan keperluan kandungan-kandungan
sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang terkandung di dalam wilayah
Laut Cina Selatan tersebut. Menurut data dari
The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of
Tiongkok (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan
Spratly adalah sekitar 17,7 miliar ton (1,60 × 10 10 kg). Fakta tersebut
menempatkan Kepulauan Spratly sebagai tempat tidur cadangan minyak terbesar
keempat di dunia.
Tiga
faktor penting yang diperebutkan yaitu ekonomi, strategik dan politik. Ketiga
faktor tersebut merupakan motif utama bagi claimant state (negara penuntut)
untuk mempertahankan haknya di wilayah LCS. Yang menjadi objek sengketa para
pihak di LCS terfokus pada dua pulau utama yaitu Spratly dan Paracels.
Negara-negara yang menjadi claimant sates untuk pulau Spratly adalah Brunei,
Cina, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam. Dua negara terakhir juga menuntut
kepemilikan akan Paracels yang berada di bawah kontrol Cina sejak tahun 1974.[1]
Kenapa
penting dari segi ekonomi? Karena daerah LCS diyakini kaya akan minyak, gas
bumi dan prikanan. Kenapa penting secara strategik? Karena penguasaan LCS khususnya
bagi Cina akan memperkokoh posisi mereka sebagai salah satu global power.
Selain itu, komando dan kontrol atas LCS akan memperkuat posisi negara dari
segi maritime regime mengingat wilayah tersebut merupakan “the heart of
Southeast Asia” dari segi aktifitas maritim. Alasan terakhir merupakan aspek
politik, kenapa politik? Karena permasalahan LCS menyangkut masalah klaim
teritori. Kekalahan dalam mempertahankan daerahnya akan menimbulkan masalah
domestik, sehingga dipandang perlu oleh claimant states untuk mempertahankannya
sesuai dengan penafsiran dan pandangan masing-masing demi kedaulatan negara. [2]
2. Klaim Wilayah
Klaim yang tumpang
tindih terhadap gugusan kepulauan di Laut Cina Selatan didasarkan pada catatan
historis yang dimiliki masing-masing negara. Cina menyatakan kepulauan Spratly
dan Paracels sudah menjadi bagian dari Cina sejak zaman dinasti Han, Yuan, dan
Ming.[3]
Di sumber lain dikatakan kepulauan Spratly dan Paracels ditemukan oleh seorang petualang Cina
pada masa Dinasti Song.[4]
Tidak hanya Cina negara lain pun punya alasan yang kuat untuk mengklaim wilayah
tersebut.
1. Vietnam
Klaim : Seluruh Kepulauan Spratly dan
kepulauan Paracels
Dasar Klaim : Ensiklopedia kuno yang ditulis oleh
seorang ahli geografi Vietnam pada masa pemerintahan Trinh Can (1680-1705),
Kekuasaan kaisar Gia Long dan Kaisar Minh Mang pada tahun 1834.
Pendudukan : 13 pulau di kepulauan Spratly
2. Filipina
Klaim : Wilayah terra nullius yang diajukan oleh Tomas Cloma
Dasar Klaim : Tuntutan yang diajukan Tomas Cloma
Pendudukan : 3 pulau di Commodore Reef, 5 pulau, serta
33 pulau kategori sangat kecil
3. Malaysia
Klaim : Commodore Reef (sengketa dengan
Filipina), Swallow Reef, Matanani Reef, Dallas Reef, Amboyna Cay (sengketa
dengan Vietnam) Southwest Soal, Ardasier, Breakers, Gloucester Breakers, Barque
Canada Reef, Lizzie Weber Reef, Northeast Soal, Glasgow Shoal, dan North Viper
Shoal.
Dasar Klaim : bekas wilayah kolonial inggris sejak abad
18 dan Landas Kontinen Malaysia 1979
Pendudukan : 3 pulau (Commodore Reef, Swallow Reef,
Matanani Reef)
4. Brunei
Klaim : Lousia Reef (sengketa dengan
Malaysia)
Dasar Klaim : Lousia Reef masuk dalam Zona Ekonomi
Eksklusif Brunei
Pendudukan : Tidak ada
B. Penyelsaian Sengketa
Internasional Laut Cina Selatan
Penyelsaian sengketa Laut Cina Selatan
dilakukan oleh ASEAN sebagai organisasi regional , berikut upaya – upaya yang
telah dilakukan ASEAN dalam penyelsaian sengketa Laut Cina Selatan : [5]
1. Negara
Anggota ASEAN Mengadakan Pertemuan dalam Menyelesaikan konflik Laut Cina
Selatan
Pada tahun 1971, ASEAN sudah berhasil
melembagakan Asia Tenggara sebagai suatau wilayah keamanan, ketika para Menteri
Luar Negeri menandatangani Declaration on the Zone of Peace, Freedom and
Neutrality (ZOPFAN). Deklarasi ZOPFAN itu merupakan pengejawantahan dan sikap
ASEAN yang tidak mau menerima keterlibatan terlalu jauh dari negara-negara
besar dari luar regional, seperti Amerika Serikat, RRC, Uni Soviet dan Jepang.
ASEAN mengusahakn pengakuan dan penghormatan, Asia Tenggara sebagai zona damai,
bebas dan netral oleh kekuatan luar seraya memperluas kerja sama antara mereka
sendiri sebagai prasyarat bagi “memperkokoh kekuatan, kesetiakawanan dan
keakraban mereka”.
Pada salah satu lawatannya di Vietnam
Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa mengutarakan dalam pertemuannya
dengan Menteri Luar Negeri Vietnam, Pham Binh Minh bahwa kedua negara berhasil
mendiskusikan beberapa ide yang berkaitan dengan hal-hal yang mempersatukan
ASEAN. Ide tersebut di identifikasi enam prinsip utama, antara lain: 1. Perlunya reafirmasi mengenai the
Declaration on the Conduct of Parties kepada semua pihak di Laut Tiongkok
Selatan 2. Perlunya afirmasi guidelines
Declaration on the Conduct of Parties (DOC)
3. Perlunya afirmasi mengenai pentingnya suatu Code of Conduct 4.
Penghormatan terhadap hukum internasional dan
5. Konvensi PBB mengenai Hukum Laut UNCLOS, serta 6. Penyelesaian masalah secara damai.
Selain melakukan lawatan di kawasan
ASEAN, pada pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok Yang Jiechi di
Jakarta Agustus lalu, kedua negara sepakat untuk meningkatkan stabilitas di
kawasan Laut Tiongkok Selatan. Dalam pertemuan ini Presiden Indonesia dan
Menteri Luar Negeri Tiongkok menggaris bawahi pentingnya ASEAN serta Tiongkok
untuk fokus pada penyusunan deklarasi tata berperilaku (DOC) menuju kode tata
perilaku (COC).
2. Tahun 2011
ASEAN menerapkan kode etik konflik laut Cina Selatan
Sejauh ini upaya negara-negara ASEAN
termasuk Indonesia dalam mencegah terjadinya konflik terbuka adalah dengan
penyusunan Kode Etik Konflik di Laut Cina Selatan (Code of Conduct on South
Tiongkok Sea). Kode Etik Konflik di Laut Cina Selatan ini berupaya membuat
aturan larangan berkonflik khususnya bagi negara-negara yang memiliki
kepentingan di Laut Cina Selatan. Konflik di Laut Cina Selatan ini diharapkan
dapat dikembangkan lagi di antara negara-negara ASEAN untuk membuat aturan
larangan berkonflik dengan sesama anggota maupun dengan negara mitra di luar
kawasan.
3. ASEAN
mengoptimalkan peran ASEAN Regional Forum ( ARF ) dalam Penyelesaian Sengketa
Laut Cina Selatan
Pada masa dekade akhir ini, ASEAN
sebagai institusi mengandalkan sistem rejim ARF dalam isu keamanan
tradisional dan non-tradisional issue
dengan mencerminkan nilai-nilai ASEAN Way, dengan sukses dalam konflik
sengketa Kuil Preah Vihear melalui CBM (Confidence Building Measures),
kerjasama keamanan yang berujung sukses yakni Aceh Monitoring Mission, selain
itu sukses mengajak Tiongkok untuk duduk bersama dalam konflik sengketa Laut
Cina Selatan. Dengan dimulai dari
legitimasi Myanmar bergabung di ASEAN menimbulkan cara pandang yang berubah
bagi nilai-nilai ASEAN Way dan prinsip fundamental ASEAN yakni non-interference yang sedikit bergeser menjadi constructive engagement dan proactive engagement. Pada konsepnya
bahwa negara ASEAN bersikap proaktif untuk membantu suatu negara yang mengalami
permasalahan politik dan konflik keamanan manusia, melalui bantuan ekonomi dan
politik demokrasi, tetapi tetap tidak melanggar prinsip kedaulatan. Dalam kasus sengketa Laut Cina Selatan, ASEAN berada diposisi krusial
dimana Tiongkok telah melakukan latihan angkatan lautnya di daerah perairan
tersebut, melalui ARF atas kesediaan Tiongkok untuk terlibat dengan ASEAN,
muncul anggapan bahwa Tiongkok akan semakin agresif dalam konflik sengketa Laut
Cina Selatan.
Ajang diskusi dan kerjasama diforum ARF, hanya
semata menggunakan pendekatan cooperative security, otomatis pencapaiannya
bukan melalui instrument militer. Dalam
hal ini komunitas keamanan didefinisikan sebagai komunitas negara yang
menyeesaikan permasalahan di antara mereka tidak dengan penggunaan kekuatan
militer, tetapi dengan cara-cara damai (peaceful changes). Krusialnya, negara
anggota ASEAN pun masih lemah dalam
peningkatan kerjasama militer, kemudian sikap setiap keanggotaan ASEAN menjadi
terbelah dan berteguh pada non-interference, hal ini semakin memperkeruh
keadaan dinamika sengketa Laut Cina Selatan, dengan akibat ASEAN belum mampu
menciptakan balance of power untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok. Ekspresi geopolitik Tiongkok, terkait
Laut Cina Selatan terlihat dengan
kebijakan Tiongkok yang dibawa dalam ASEAN Regional Forum (ARF), salah satunya menyetujui
The Declaration on the Conduct of Parties in the South Tiongkok Sea, pada tahun
2002. Dalam deklarasi tersebut Tiongkok sepakat bahwa sengketa perairan tidak
akan menjadi isu internasional dan isu multilateral. Delapan tahun setelah
deklarasi tersebut dengan Tiongkok mengenai konflik perairan ini diratifikasi,
kejelasan status atas kepemilikan Kepulauan Spratly dan Paracel belum jelas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hal yang melatarbelakangi terjadinya
sengketa di kawasan Laut Cina Selatan adalah pertama karena faktor SDA
yang berlimpah di kawasan tersebut sehingga negara – negara berebut
untuk menguasai wilayah Laut Cina Selatan, kedua
adanya klaim terhadap pulau – pulau
yang ada di Laut Cina Selatan sesuai dengan faktor historis juga penafsiran
yurisdiksi masing – masing negara.
ASEAN sebagai organisasi regional telah
melakukan upaya – upaya untuk menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan
diantaranya adalah pertama Tahun 2011 ASEAN menerapkan Code of Conduct dan Declaration on the
Conduct (DOC) of Parties in the South Tiongkok Sea. Kedua Negara anggota ASEAN
mengoptimalkan peran ASEAN Regional Forum dan ASEAN Political Security Community
dalam penyelesaian konflik keamanan terkait laut Cina Selatan. 3. Negara-negara
ASEAN mengadakan pertemuan dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan.
B. Saran
1.
ASEAN serta
negara – negara lain mendesak Cina dan negara – negara yang bersengketa agar mentaati UNCLOS 1982, sehingga sengketa
wilayah tidak terjadi
2.
Mendorong Cina
agar mau menyelesaikan sengketa di Mahkamah Internasional, agar mendapatkan
kejelasan mengenai wilayah.
DAFTAR PUSTAKA
a.
Buku
Usman, Asnani &
Rizal Sukma, Konflik Laut Cina Selatan,
Tantangan Bagi ASEAN, Jakarta : Centre for strategic and International
Studies (CSIS), 1997.
b. Jurnal
Anugerah Baginda
Harahap, UPAYA ASEAN DALAM MENYELESAIKAN
KONFLIK LAUT CINA SELATAN TAHUN 2010-2015, Jurnal JOM FISIP Oktober 2016,
Vol.3 No.2
Dadang, Wirasuta, Keamanan Maritim Laut Cina Selatan,
Jurnal Pertahanan Desember 2013, Vol 3, No. 3.
c. Internet
http://www.anneahira.com/laut-cina-selatan.htm
< diakses 21 April 2018 Pukul 17.40 >
https://judiono.wordpress.com/2009/01/05/mencermati-sengketa-teritorial-laut-cina-selatan/
< diakses 21 April 2018 pukul 18.00 >
http://hukum.kompasiana.com/2013/01/28/laut-cina-selatanproblematika-dan-prospek-penyelesaian-masalah-making-the-long-story-short-artikel-inisebagian-besar-bersumber-dari-tulisan-ralf-emmers-nanyang-technological-university-si
ngapura-yan-529409.html. Di akses pada tanggal 22 April 2018.
[1] Kompasiana. 2013, 28 Januari.
Laut Cina Selatan: Problematika dan Prospek Penyelesaian Masalah.
http://hukum.kompasiana.com/2013/01/28/laut-cina-selatanproblematika-dan-prospek-penyelesaian-masalah-making-the-long-story-short-artikel-inisebagian-besar-bersumber-dari-tulisan-ralf-emmers-nanyang-technological-university-si
ngapura-yan-529409.html. Di akses pada tanggal 22 April 2018.
[3] Usman,
Asnani & Rizal Sukma, Konflik Laut
Cina Selatan, Tantangan Bagi ASEAN, Jakarta : Centre for strategic and
International Studies (CSIS) (1997) (hal. 4)
[4]
Wirasuta, Dadang, Keamanan Maritim Laut
Cina Selatan, Jurnal Pertahanan Desember 2013, Vol 3, No. 3 (hal. 82)
[5] Anugerah Baginda Harahap, UPAYA ASEAN DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK LAUT
CINA SELATAN TAHUN 2010-2015, Jurnal JOM FISIP Oktober 2016, Vol.3 No.2
hlm. 9-11
Komentar
Posting Komentar