Penyelsaian Sengketa Internasional
PENYELSAIAN
SENGKETA INTERNASIONAL
Oleh
: Taupiq Nugraha
Jurusan
Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati Bandung
taupiq17@gmail.com
A.
Pengertian
Sengketa
Internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara
subjek-subjek hukum Internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana
tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh
pihak lainnya. [1]Sengketa
internasional terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan pemerintah,
lembaga juristic person (badan hukum)
atau individu dalam bagian dunia yang berlainan terjadi karena:
1.
Kesalahpahaman tentang suatu hal;
2.
Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain;
3.
Dua negara berselisih tentang suatu hal;
4.
Pelanggaran hukum / perjanjian internasional.[2]
Secara grand
design cara penyelsaian sengketa internasional terbagi menjadi 2 cara yaitu
dengan cara perang dan dengan cara damai.
B.
Pembagian
Sengkketa internasional terbagi kedalam 2 bagian yaitu
sengketa hukum dan sengketa politik., sengketa hokum dan sengketa politik
secara teoritis , penulis mengutip dari para ahli berikut : [3]
1. Friedmann
Menurut Friedmann, meskipun
sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun perbedaannya dapat
terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal
berikut:
a)
Sengketa
hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan
dengan menerapkan aturan hukum yang telah ada dan pasti.
b)
Sengketa
hukum adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan vital negara,
seperti integritas wilayah, dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu
negara.
c)
Sengketa
hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada cukup untuk
menghasilkan putusan yang sesuai dengan keadilan antar negara dan perkembangan
progresif hubungan internasional.
d)
Sengketa
hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum yang
dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum
yang telah ada.
2. Waldock
Menurut Sir Humprey Waldock,
penentuan suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung
sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan
sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa
hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan
patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal
pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.
3. Oppenheim – Kelsen
Sedangkan Menurut Oppenheim
dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria objektif
yang mendasari perbedaan antara sengketa politik dan hukum. Menurut mereka,
setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa tersebut biasanya
terkait antar negara yang berdaulat. Huala Adolf mengeluarkan pendapat yang
sama. Menurut beliau, jika timbul sengketa antara dua negara, bentuk atau jenis
sengketa yang bersangkutan ditentukan sepenuhnya oleh para pihak. Bagaimana
kedua negara memandang sengketa tersebut menjadi faktor penentu apakah sengketa
yang terjadi merupakan sengketa hukum atau politik.
C.
Peran Hukum Internasional
a.
Peran
hukum internasional dalam penyelsaian sengketa internasional adalah sebagai
berikut :
b.
hukum
internasional berupaya agar hubungan antar Negara terjalin lewat persahabatan
c.
memberikan
aturan – aturan pokok kepada para Negara yang bersengketa untuk bagaimana cara
yang ditempuh untuk menyelsaikan sengketanya
d.
memberikan
kebebasan keada para pihak untuk memilih cara dan prosedur untuk menyelsaikan
sengketanya
e.
hukum
internasional modern semata – mata hanya menganjurkan penyelsaian sengketa
secara damai. [4]
D. Prinsip Penyelsaian Sengketa Internasional
Dalam
membahas mengenai cara penyelesaian sengketa internasional secara damai, maka
diterapkan beberapa prinsip dalam pelaksanaannya, yaitu :[5]
- Prinsip Itikad Baik
Prinsip
itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral
dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan
mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.
Tidak heran jika prinsip ini dicantumkan sebagai prinsip pertama (awal) yang
termuat dalam Manila Declaration (Section 1 paragraph 1).
Dalam
penyelesaian sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua tahap. Pertama,
prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat
memengaruhi hubungan baik antarnegara. Kedua, prinsip ini
disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui
cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu
negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara lain yang
dipilih para pihak.
- Prinsip Larangan Penggunaan
Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa
Prinsip
ini juga sangat sentral dan penting. Prinsip inilah yang melarang para pihak
untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasasn).
Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 13 Bali Concord dan preambuleke-4
Deklarasi Manila.
- Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara
Penyelesaian Sengketa
Prinsip
penting lainnya adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle
of free choice of means).
- Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
yang akan Diterapkan Terhadap Pokok Sengketa
Prinsip
fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah prinsip kebebasan para pihak
untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya
diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum
ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et
bono). Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutuskan
sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan dan kelayakan.
- Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang
Bersengketa (Konsensus)
Prinsip
kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian
sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan
prinsip ke-3 dan 4 diatas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa
dilakukan atau direalisasikan apabila adda kesepakatan dari para pihak.
Sebaliknya,
prinsip 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila kesepakatan hanya ada dari
salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah
pihak.
- Prinsip Exhaustion of Local
Remedies
Prinsip
ini termuat dalam Section 1 paragraph 10
Deklarasi Manila. Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan
sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih
dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa the interhandel
(1959), Mahkamah Internasional menegaskan:
“Before
resort may be had to an international court, the state where the violation
occurred should have an opportunity to redress it by its own mean, within the
framework of its own domestic legal system.”
- Prinsip-Prinsip Hukum Internasional
tentang Kedaulatan Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara
Prinsip
ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan
melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya
berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negar-negara.
Di
samping ketujuh prinsip diatas, Office of the Legal Affairs PBB
memuat prinsip-prinsip lainnya yang hanya bersifat tambahan. Prinsip-prinsip
tersebut yaitu:
- Prinsip larangan intervensi baik
terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak.
- Prinsip persamaan hak dan penentuan
nasib sendiri.
- Prinsip persamaan kedaulatan
negara-negara.
- Prinsip kemerdekaan dan hukum
internasional, yang semata-mata merupakan penjelmaan lebih lanjut dari
prinsip ke-7, yaitu prinsip hukum internasional tentang kedaulatan,
kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
Penyelesaian
sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung dari ketentuan Pasal 2
ayat (4) Piagam PBB yang berbunyi:
‘All
Members shall refrain in their international relations from the threat or use
of force against the territorial integrity or political independence of any
state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United
Nations’.
Ketentuan
Pasal 2 ayat (4) ini melarang negara anggota menggunakan kekerasan dalam
hubungannya satu sama lain. Dengan demikian pelarangan penggunaan kekerasan dan
penyelesaian sengketa secara damai telah merupakan norma-norma imperatif dalam
hubungan antar bangsa. Oleh karena itu hukum internasional telah menyediakan
berbagai cara penyelesaian sengketa internasional secara damai demi
terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya hubungan antar bangsa
yang serasi.
E. Sumber Hukum Penyelsaian Sengketa Internasional
1. Konvensi
2. Statuta Mahkamah
Internasional
3. Statuta Mahkamah Permanen
Internasional
4. Piagam PBB
5. Deklarasi
F. Cara Penyelsaian Sengketa Internasional
Penyelsaian sengketa
internasional ditempuh melalui 2 cara yaitu :
a. politik [6]
1. Negosiasi
Negoisasi
adalah cara penyelesaian yang biasanya pertama kali ditempuh manakala para
pihak bersengketa. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama,
yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan. melalui
saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau
organisasi Internasional. Penyelsaian sengketa melalui negoisiasi mengandung beberapa
kelemahan diantaranya :
1.
Manakala
kedudukan tidak seimbang, salah satu pihak yang kuat dapat menekan pihak yang
lemah
2.
Lambat
dan memakan waktu lama
3.
Manakala
salah satu pihak keras pendirianya negosiasi menjadi kurang produktif
Contoh negosiasi :
perjanjian renville , roem royen , linggarjati
Dasar hukum : Pasal 33
Piagam PBB
2. Pencarian Fakta
Penggunaan
pencarian fakta ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau
negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan
cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua
sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing pihak. Cara
ini telah dikenal dalam praktik kenegaraan. Di samping itu,
organisasi-organisasi internasional juga telah memanfaatkan cara penyelesaian
sengketa melalui pencarian fakta ini. Negara-negara juga telah membentuk
badanbadan penyelidikan baik yang sifatnya ad hoc ataupun terlembaga. Pasal 50
Statuta Mahkamah Internasional misalnya mengatakan bahwa Mahkamah dapat ‘entrust any individual body, bureau,
commission or other organization that it may select, with the task of carrying
out an inquiry or giving an expert opinion.’ The Hague Convention for the
Pacific Settlement of International Disputes tahun 1907 Pasal 35, dengan
tegas mengatakan bahwa laporan komisi (pencarian fakta) sifatnya terbatas
mengungkapkan fakta-faktanya saja dan bukan merupakan suatu keputusan.
Contoh :
Pembentukan UNSCOM untuk penyelidikan senjata pemusnah massal
Dasar hukum
: pasal 34 piagam pbb, pasal 9-36 konvensi den haag
3.Jasa –
Jasa Baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian
sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga disini berupaya
agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Jadi, fungsi utama
jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka
mau bertemu, duduk bersama, dan bernegosiasi.
Jasa
Baik Teknis
Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh
negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang
bersengketa ikut serta terlibat dalam konferensi atau menyelenggarakan
konferensi. Peranannya dalam hal ini adalah sebagai tuan rumah yang memberikan
fasilitas-fasilitas yang diperlukan, menyediakan transportasi dan komunikasi,
memberikan (pengurusan) jaminan dan apabila memungkinkan, memberikan jaminan
keuangan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah menerima tanggung jawab untuk
melindungi suatu pihak tertentu.
Tujuan
dari Jasa Baik Teknis adalah mengembalikan atau
memelihara hubungan atau kontak langsung diantara para pihak yang bersengketa
setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Jasa baik teknis juga mewakili
kepentingan salah satu pihak di negara pihak lainnya. Jasa baik seperti ini biasanya
berlangsung pada saat terjadinya perdamaian ataupun saat peperangan.
Jasa
Baik Politis
Jasa baik politis adalah jasa baik yang
dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan
suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan
diadakannya suatu negosiasi atau suatu kompensasi. Yang termasuk dalam kategori
ini adalah menerima mandat dari negara lain untuk menyelesaikan suatu masalah
yang spesifik tertentu. Misalnya, jasa baik dalam hal mengembalikan orang-orang
ke negara asalnya, mengawasi mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, dan
lain-lain.
Hak untuk menawarkan jasa baik oleh
suatu organisasi internasional, negara, ataupun perorangan berasal dari hukum
kebiasaan internasional. Dalam hal jasa baik dilaksanakan oleh negara maka
sumber hak tersebut ada pada kedaulatan negara untuk menawarkan jasa baik.
Hak-hak untuk menawarkan tersebut berlaku juga terhadap pihak-pihak lainnya
untuk menolak tawaran tersebut.
4. Mediasi
Mediasi merupakan
suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut
dengan mediator. Mediator dapat merupakan negara, organisasi internasional atau
individu. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya
dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berusaha mendamaikan para pihak
dengan memberikan sara penyelesaian sengketa. Jika usulan tersebut tidak
diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat
usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari
berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati
para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
Contoh kasus : perjanjian mesir – Israel 1979 ,
5. Konsiliasi
Penyelesaian sengketa
melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga (konsiliator) yang tidak
berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh para pihak. Badan
konsiliasi dapat merupakan badan yang telah terlembaga atau ad hoc (sementara).
Konsiliasi merupakan proses yang berupaya mendamaikan pandangan-pandangan para
pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh
konsiliator sifatnya tidak mempunyai kekuatan hukum.
Contoh kasus : Thailand dan perancis
b.
Hukum
1. Arbitrase
Arbitrase
adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang
mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Badan
arbitrase dewasa ini sudah semakin popular dan semakin banyak digunakan dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa internasional.
Penyerahan
suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu compromise,
yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir melalui
pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya
lahir (clause compromissoire). Orang yang dipilih melakukan arbitrase
disebut arbitrator atau arbiter (Indonesia).
Pemilihan arbitrator sepenuhnya
berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbitrator yang
dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta disyaratkan
netral. Dia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja dia menguasai
bidang-bidang lainnya. Dia bisa seorang insinyur, pimpinan perusahaan (manager),
ahli asuransi, ahli perbankan dan lain-lain.
Setelah
arbitrator ditunjuk, selanjutnya arbitrator menetapkan terms of
refrence atau aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan
kerja mereka. Biasanya dokumen ini memuat pokok masalah yang akan diselesaikan,
kewenangan yuridiksi arbitrator dan aturan-aturan (acara)
sidang arbitrase. Sudah barang tentu terms of refrence tersebut
harus disepakati oleh para pihak.
Huala
Adolf memandang arbitrase sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa
melalui pihak ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak
(negara) secara sukarela untuk memutuskan sengketa yang bukan bersifat perdata
dan putusannya bersifat final dan mengikat. Melihat kesimpulan oleh para
sarjana tersebut, dapat di simpulkan bahwa arbitrasi merupakan suatu prosedur
proses penyelesaian sengketa yang menunjuk pihak ketiga baik suatu badan hukum
atau organisasi yang diakui, untuk memutus sengketa dan putusannya bersifat
mengikat. Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara,
yaitu penyelesaian oleh seorang arbitrator secara terlembaga
(institutionalized) atau kepada suatu badan arbitrase ad hoc (sementara). Badan
arbitrase terlembaga adalah badan arbitrase yang sudah berdiri sebelumnya dan
memiliki hukum acaranya.
Contoh
badan arbitrase seperti ini adalah The Permanent Court of Arbitration (PCA) di
Den Haag. Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan yang dibuat oleh para
pihak untuk sementara waktu dan berakhir tugasnya setelah putusan atas suatu
sengketa tertentu dikeluarkan.
Putusan arbitrase adalah final and Binding , tetapi bias batal karena hal – hal berikut :
1. excess de
puvoir
Manakala badan arbitrase telah melampaui batas
kewenangannya. Pada prinsipnya wewenang arbitrator terbatas pada acta compromise yang telah disepakati.
2. tidak tercapainya suara mayoritas
3. tidak cukupnya alas an atau bukti
Cara berarbitrase ada pada pasal 2 UN models memuat
tentang ( bahasa , ongkos, syarat dan jumlah , badan , hukum yang dipakai,
tempat dll.) , contok kasus pulau miangas yang diputus oleh max Huber
Para pihak bias organisasi internasional maupun
perorangan
2, Mahkamah Internasional
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian
dilakukan melalui suatu pengadilan yudisial Internasional yang dibentuk
sebagaimana mestinya dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Satu-satunya
organ umum untuk penyelesaian yudisial yang pada saat ini tersedia dalam
masyarakat Internasional adalah International Court of Justice (ICJ) yang
menggantikan dan melanjutkan kontinuitas Permanent Court of International
Justice. Pengukuhan kedudukan dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan pada
tanggal tersebut pendahulunya yaitu Permanent Court of International Justice,
dibubarkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada waktu sidang terakhirnya. ICJ
terbuka bagi negara-negara (anggota-anggota atau bukan anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa) peserta statuta dan bagi negara-negara lain, dengan
syarat-syarat yang ditentukan Dewan Keamanan PBB tunduk pada ketentuan khusus
yang dimuat dalam traktat-traktat yang berlaku dan syarat tersebut tidak untuk
menenpatkan para pihak dalam kedudukan yang tidak sama di hadapan Mahkamah
(Pasal 35 statuta ICJ). Yuridiksi ICJ dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni:
a) Memutuskan perkara-perkara pertikaian (contentious
case)
b) Memberikan opini-opini yang bersifat nasihat (advisory
opinion)
a. hakim
Dalam
pasal 9 statuta mahkamah internasional dijelaskan bahwa komposisi mahkamah
internasional terdiri atas 15 orang hakim, dengan masa jabatan 9 tahun. Ke-15
calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap di
bidang hukum internasional. Dari daftar calon hakim ini, majelis umum dan dewan
keamanan secara independen melakukan suatu pemungutan suara untuk memilih
anggota mahkamah internasional.
Kebiasaan pemilihan
5 orang dari Negara barat
3 orang dari afrika ( 1 berbahasa perancis civil law ,
1 orang berbahasa inggris common law , 1 orang berbahasa arab)
3 orang asia
2 eropa timur
2 amerika latin
Para
calon yang mendapatkan suara terbanyak terpilih menjadi hakim mahkamah
internasional. Biasanya lima hakim mahkamah internasional berada dari negara
anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina, dan
Rusia). Di samping 15 hakim tetap, pasal 32 statuta mahkamah internasional
memungkinkan dibentuknya hakim ad hoc yang terdiri atas dua orang hakim yang
diusulkan oleh negara yang bersengketa. Kedua hakim ad hoc tersebut
bersama-sama dengan ke-15 hakim tetap, memeriksa dan memutuskan perkara yang
disidangkan.
Masa jabatan 9 tahun ( pasal 13 statuta )
Contoh kasus ad hoc sipadan ligitan 2002
b. chamber
- Mahkamah dalam menyelesaikan
sengketanya dapat memeriksa dengan seluruh anggotanya atau cukup dengan
beberapa hakim tertentu yang dipilih secara rahasia, disebut Chamber.
Putasan Chamber tetap dianggap sebagai putusan dari
Mahkamah.
- Chamberyang
tersedia dalam Mahkamah :
- The Chamber of Summary Procedure,
yaitu Chamber yang terdiri 5 orang hakim termasuk di dalamnya presiden
dan wakil presiden.
- Chamber (lainnya)
yang sedikitnya terdiri 3 hakim yang menangani suatu kategori atau
kelompok sengketa tertentu, misalnya di bidang perburuhan atau
komunikasi.
- Chamber (lainnya)
yang dibentuk Mahkamah untuk menangani kasus tertentu setelah
berkonsultasi dangan para pihak mengenai jumlah dan nama-nama hakim yang
akan menangani sengketa.
- Ketentuan mengenai Chamber diatur
dalam Rules concerning Chamber of Court. Pembentukannya
pertama kali tahun 1982 dalam sengketa Delimitation of the
Maritime Boundary in the Gulf of Maine (Gulf Maine case)
antara Kanada dan Amerika Serikat.
c. yurisdiksi
Yuridiksi
Mahkamah Internasional mencakup 2 hal:
- Contentious Jurisdiction
Yuridiksi
mahkamah ini merupakan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa antara 2
negara atau lebih (Jurisdiction Ratione Personae)
Yuridiksi
Mahkamah Internasional dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
a.
Berdasar pasal 36 ayat 1 statuta
Berdasar
pasal 36 ayat 1 statuta, yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa yang
diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam piagam PBB
yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi
internasional.
b.
Doktirn Forum Prorogatum
Menurut
doktrin ini, yurisdiksi seperti ini (Propogated Jurisdiction) timbul manakala
hanya satu negara yang menyatakan dengan tegas persetujuannya atas Yurisdiksi
Mahkamah. Kesepakatan pihaj lainnya diberikan secra diam-diam, tidak tegas atau
tersirat saja. Corfu channel
case
c.
The Optional Clause Pasal 36 Ayat 2 Statuta
Berdasar
pasal 36 ayat 2 yaitu klausul pilihan, dinyatakan bahwa Negara-negara peserta
pada statute dapat setiap waktu menyatakan penerimaan wajib ipso facto
yurisdiksi Mahkamah dan tanpa adanya perjanjian khusus terhadap Negara yang
menerima kewajiban serupa atas semua sengketa hukum mengenai:
–
Penafsiran suatu perjanjian
–
Setiap masalah hukum internasional
–
Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi, akan merupakan suatu pelanggaran
kewajiban internasional
–
Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran suatu kewajiban
internasional
2.
Noncontentious (Advisory) Jurisdiction
Yaitu
dasar hukum yurisdiksi mahkamah untuk member nasehat atau pertimbangan hukum
kepada organ utama atau organ PBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan
terbatas sifatnya, hanya terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktifitas
dari 5 badan atau organ utama dan 16 badan khusus PBB.
a.
Pihak nonanggota PBB dan intervensi pihak ketiga
Pihak
non anggota PBB, Pasal 93 ayat 1 piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota PBB
ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamah internasional.
Pasal 93 ayat 2 piagam menyatakan bahwa Negara-negara nonanggota PBB dapat pula
menjadi pihak pada statu mahkamah dengna syarat-syarat yang ditetapkan oleh
majelis umum atas rekomendasi dari dewan keamanan.
Mengenai
intervensi pihak ketiga, suatu Negara dapat pula memohon untuk ikut serta/melakukan
intervensi dalam suatu persidangan suatu sengketa manakala Negara ketiga
tersebut memiliki kepentingan hukum. Kepentingan hukum dalam arti putusan
mahkamah yang akan dikeluarkan dapat berpengaruh kepada kepentingannya.
Ketentuan mengenai intervensi ini termuat pula dalam aturan mahkamah yaitu
dalam pasal 62 statuta dan rules of the international court of justice pasal
81-86.
d. putusan mahkamah internasional
Suatu
sengketa yang diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat berakhir karena
hal-hal sebagai berikut :
- Adanya kesepakatan dari para pihak
Kesepakatan
ini dapat dialihkan pada setiap tahap persidangan dengan memberitahukan kepada
Mahkamah bahwa mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam hal terjadinya
kesepakatan, Mahkamah akan mengeluarkan surat putusan (order) yang berisi
penghapusan sengketa dari daftar Mahkamah. Contoh hal seperti ini tampak dalam
sengketa yang ditangani PCIJ yaitu the Delimitation of the Territorial Waters
between Island of Castello and Coasts of Anatolia, Losinger, Bochgrave (1973)
2.
Tidak dilanjutkannya persidangan
Suatu
Negara penuntut atau pemohon setiap waktu dapat memeberitahukan Mahkamah bahwa
mereka telah sepakat untuk tidak melanjutkanpersidangan atau kedua belah pihak
menyatakan bahwa mereka sepakat untuk menarik kembali sengketanya.
3.
Dikeluarkannya Putusan (Judgment)
Ada
beberapa cara yaitu :
a.
Putusan diterbitkan untuk masyarakat luas
Putusan
tersebut ipublikasikan secara luas memiliki segi positif yaitu telah memberikan
sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum internasional dengan
argument-argumen hukum dan pendapat –pendapat para hakim dimana telah menjadi
“sumber hukum” penting yang kemudian banyak diikuti oleh putusan-putusan
selanjutnya.
b.
Pendapat Para Hakim, terdiri dari :
- Dissenting Opinion,
Yaitu
suatu pendapat hakim yang tidak setuju dengan satu atau beberapa hal dari
putusan Mahkamah, khusunya dasar hukum dan argumentasi dari putusan dan
akibatnya mengeluarkan putusan atau pendapat yang menetang putusan Mahkamah
tersebut.
- Separate Opinion
Yaitu
suatu pendapat yang menyatakan dukungan seorang hakim terhadap utusan Mahkamah
khusunya mengenai ketentuan hukum yang digunakan dan beberapa aspek yang
menurutnya penting, namun ia sendiri tidak sepaham dengan semua atau beberapa
argumentasi Mahkamah meskipun akhirnya isi putusan sama dengan Mahkamah.
c.
Putusan Mengikat Para Pihak
Sifat
putusan Mahkamah adalah mengikat, final, dan tidak ada banding. Putusan
Mahkamah hanya mengikat para pihak yang sengketa dan tidak mengikuti prinsip
stare decisis (sifat mengikat preseden) seperti yang dikenal dalam system hukum
Common Law.pasal 60 statuta
d.
Penafsiran dan Perubahan Putusan.
E. PBB dalam penyelsaian
sengketa
ujuan PBB seperti yang
diamatkan dalam Pasal 1 Piagam PBB, adalah untuk menciptakan perdamaian dan
keamanan internasional. Adalah kewajiban PBB untuk mendorong agar sengketa-
sengketa diselesaikan secara damai. Dua tujuan tersebut adalah sebuah reaksi yang
terjadi akibat pecahnya Perang Dunia II. Adalah upaya PBB agar perang dunia
baru tidak kembali terjadi. Adalah kerja keras PBB agar sengketa yang terjadi
antar Negara dapat diselesaikan sesegera mungkin secara damai.1
Langkah – langkah lebih
lanjut tentang yang harus dilakukan oleh negara –negara anggota PBB guna
penyelesain sengketa secara damai diuraikan dalam Bab IV (Pacific Settlement
of Disputes)
Terkait hal –hal
tersebut PBB mempunyai berbagai cara yang terlembaga dan termuat didalam Piagam
PBB. Di samping itu PBB mempunyai cara informal yang lahir dan berkembang dalam
pelaksanaan tugas PBB sehari –hari. Cara –cara ini kemudian digunakan dan
diterapkan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul diantara negara anggotanya.
Dalam upayanya
menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki empat kelompok
tindakan, yang saling berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaanya
memerlukan dukungan dari semua anggota PBB agar dapat terwujud. Keempat
kelompok tindakan itu adalah sebagai berikut.2
1. Preventive Diplomacy
Preventive Diplomacy adalah
suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengkta di antara para pihak,
mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa.
Cara ini dapat dilakukan oleh Sekjen PBB, Dewan Keamanan, Majelis Umum, atau
oleh organisasi –organisasi regional berkerjasama dengan PBB. Misalnya upaya
yang dilakukan oleh Sekjen PBB sebelumnya Kofi Annan dalam mencegah konflik
Amerika Serikat – Irak menjadi sengketa terbuka mengenai keenganan Irak
mengizinkan UNSCOM memeriksa dugaan adanya senjata pemusnah massal di wilayah
Irak, walaupun upaya tersebut akhirnya menemui jalan buntu.
2. Peace Making
Peace Making adalah
tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat,
khususnya melalui cara –cara damai seperti yang terdapat dalam Bab VI Piagam
PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada diantara tugas mencegah konflik dan
menjaga perdamaian. Di antara dua tugas ini terdapat kewajiban untuk mencoba
membawa para pihak yang bersengketa menuju kesepakatan dengan cara –cara damai.
Dalam perananya disini,
Dewan Keamanan hanya memberikan rekomendasi atau usulan mengenai cara atau
metode penyelesaian yang tepat setelah mempertimbangkan sifat sengketanya.3
3. Peace Keeping
Peace Keeping adalah
tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan
kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya PBB mengirimkan personel
militer, polisi PBB dan juga personel sipil. Meskipun sifatnya militer, namun
mereka bukan angkatan perang.
Cara ini adalah suatu
teknik yang ditempuh untuk mencegah konflik maupun untuk menciptakan
perdamaian. Peace Keeping merupakan “penemuan” PBB sejak
pertama kali dibentuk, Peace Keeping telah menciptakan
stabilitas yang berarti diwilayah konflik. Sejak 1945 hingga 1992, PBB telah
membentuk 26 kali operasi Peace Keeping. Sampai Januari 1992
tersebut, PBB telah menggelar 528.000 personel militer, polisi dan sipil.
Mereka telah mengabdikan hidupnya dibawah bendera PBB. Sekitar 800 dari jumlah
tersebut yang berasal dari 43 negara telah gugur dalam melaksanakan tugasnya.
4. Peace Building
Peace Building adalah
tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur –struktur yang dan guna
memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan
berubah kembali menjadi konflik. Peace Building lahir setelah
berlangsungnya konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerjasama konkret yang
menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan diantara mereka. Hal
demikian tidak hanya memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial,
tetapi juga menumbuhkan kepercayaan yang merupakan syarat fundamental bagi
perdamaian.
5. Peace Enforcement
Disamping keempat hal
tersebut, sarjana Amerika Latin, Eduardo Jimenez De Arechaga, memperkenalkan
istilah lain yaitu Peace Enfocement (Penegakan Perdamaian).
Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wewenang Dewan Keamanan berdasarkan
Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap
perdamaian atau adanya tindakan agresi. Dalam menghadapi situasi ini,
berdasarkan Pasal 41 (Bab VII), Dewan berwenang memutuskan penerapan sanksi
ekonomi, politik atau militer. Bab VII yang membawahi Pasal 41 Piagam ini
dikenal juga sebagai “gigi”-nya PBB (the “teeth” of the United Nations)4
Contoh dar penerapan
sanksi ini, yaitu Putusan Dewan Keamanan tanggal 4 November 1977. putusan
tersebut mengenakan embargo senjata terhadap Afrika Selatan berdasarkan Bab VII
Piagam sehubungan dengan kebijakan Negara tersebut menduduki Namibia (UNSC Res.418[1971]).
Termuat dalam Pasal 33
ayat (1) Piagam yang menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa “shall,
first of all, seek a resolution by negotiation…,” tersirat bahwa
penyelesaian sengketa kepada organ atau badan PBB hanyalah “cadangan”, bukan
cara utama dalam menyelesaikan suatu sengketa.
Namun demikian,
ketentuan tersebut tidak ditafsirkan manakala sengketa lahir. Para pihak tidak
boleh menyerahkan secara langsung sengketanya kepada PBB sebelum semua
cara penyelesaian sengketa yang ada sudah dijalankan. Pada kenyataanya bahwa
organ utama PBB dapat secara langsung menangani suatu sengketa apabila PBB
memandang bahwa suatu sengketa sudah mengancam perdamaian dan keamanan
internasional.
Organ – organ utama PBB
bedasarkan Bab III (Pasal 7 ayat (1)) Piagam PBB terdiri dari Majelis Umum ,
Dewan Keamanan, ECOSOC, Dewan Peralihan, Mahkamah Internasional dan
Sekertariat. Organ-organ ini berperan penting dalam melaksanakan tugas dan
fungsi PBB. Terutama dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional,
sesuai dengan kaedah keadilan dan prinsip hukum internasional.
F. Penyelsaian sengketa
melalui organisasi regional
• Diatur dalam BAB VIII Piagam (Pasal 52-54)
a. Regional arrangements
kesepakatan di suatu region tanpa organ permanen
b. Regional agencies
melalui organisasi regional tertentu
Kelemahan Organisasi Internasional Regional
• Sulit menyelesaikan sengketa yang bersifat
inter-region
• Sulit menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam
wilayah suatu negara anggota
• Masalah Keuangan
• Pengaturan penyelesaian sengketa yang tidak tegas
Organisasi regional amerika
• Piagam OAS (30 April 1948)
• Pakta Bogota
Organisasi Afrika
• Piagam Adis Abbaba (23 Mei 1963)
• Pasal 1-3 ( Tujuan Pembentukan)
• Pasal 19 (Pengaturan Penyelesaian Sengketa)
Uni Eropa
• Perjanjian Roma 1957
• Badan yang Menangani Sengketa :
– The European Commission
– The Court of Justice
ASEAN
• The Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia
(TAC) di Bali 1976
• BAB IV TAC, 3 mekanisme :
– Penghindaran timbulnya sengketa dan penyelesaian
melalui negosiasi langsung ( pasal 13 )
– Penyelesaian sengketa melalui the High Council ( pasal
14 )
– Cara-cara penyelesaian sengketa berdasarkan Pasal 33
ayat (1) Piagam PBB
G. Ius Cogen
Berdasarkan
ketentuan tersebut yang dimaksud dengan jus cogens adalah
norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara
keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat dilanggar (a norm from
which no derogation is permitted) dan hanya dapat diubah oleh suatu norma
dasar hukum internasional umum baru yang mempunyai sifat yang sama. Sejalan
dengan ketentuan tersebut, Pasal 64 Konvensi Wina 1969 menetapkan bahwa dalam
hal timbulnya suatu jus cogens yang baru, semua perjanjian
internasional yang bertentangan dengan jus cogens tersebut
menjadi batal.
Kaidah-kaidah jus cogens meliputi
:
- Kaidah-kaidah fundamental mengenai
pemeliharaan perdamaian.
- Kaidah-kaidah fundamental dari
suatu kondrat kemanusian (larangan perbudakan, genocide, diskriminasi
rasial, dan lain sebagainya).
- Kaidah yang melarang setiap
pelanggaran terhadap kemerdekaan dan persamaan kedaulatan
negara-negara.
- Kaidah-kaidah yang menjamin semua anggota masyarakat internasional untuk menikmati sumber-sumber daya alam bersama, baik itu sumber daya laut lepas, ruang angkasa, dan sumber daya alam lainnya.
a. Komposisi Mahkamah Pidana Internasional
Awalnya, MPI terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama sembilan tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara Majelis Negara Pihak, yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini (pasal 36 ayat 6 dan 9). Paling tidak separuh dari mereka kompeten di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak lima lainnya mempunyai kompetensi di bidang hukum internasional. Dalam memilih para hakim, negara pihak harus memperhitungkan perlunya perwakilan berdasarkan prinsip-prinsip sistem hukum di dunia, keseimbangan geografis, dan keseimbangan gender. Para hakim akan dibagi dalam tiga bagian, yaitu pra-peradilan, peradilan, dan peradilan banding.
Mayoritas absolut dari Majelis Negara Pihak akan menetapkan jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dengan masa kerja sembilan tahun, dan tidak dapat dipilih kembali. Para penuntut ini harus memiliki pengalaman praktik yang luas dalam penuntutan kasus-kasus pidana. Jaksa akan bertindak atas penyerahan dari Negara Pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat berinisiatif melakukan penyelidikan atas kehendak sendiri (propio motu).
b. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
Yurisdiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh MPI untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah. Pasal 5 – 8 statuta mahkamah menentukan empat jenis kejahatan berat, yaitu sebagai berikut:
1) Kejahatan genosida (the crime of genocide), yaitu tindakan jahat yang berupaya untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian dari suatu bangsa, etnik, ras, ataupun kelompok keagamaan tertentu.
2) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity), yaitu tindakan penyerangan yang luas atau sistematis terhadap populasi penduduk sipil tertentu.
3) Kejahatan perang (war crime), yaitu meliputi beberapa hal berikut:
a) Tindakan berkenaan dengan kejahatan perang, khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.
b) Semua tindakan terhadap manusia atau hak miliknya yang bertentangan dengan Konvensi
c) Kejahatan serius yang melanggar hukum konflik bersenjata internasional (misalnya, menyerang objek-objek sipil bukan objek militer, membombardir secara membabi-buta suatu desa atau penghuni bangunan-bangunan tertentu yang bukan objek militer).
4) Kejahatan agresi (the crime of aggression), yaitu tindak kejahatan yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian.
[2] Boer Mauna, Hukum Internasional
Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, II (Banrdung:
PT.Alumni, 2005), 193.
Komentar
Posting Komentar