Contoh Usulan Penelitian


TUGAS

“MEMBUAT USULAN PENELITIAN”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas individu  mata kuliah Metode Penelitian Hukum
Dr.H. Utang Rosidin, S.H., M.H.
Disusun oleh :
Taupiq Nugraha                  NIM: 1153050117
( Penulis menulis ulang usulan penelitian dari skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pengelolaan Sampah Di Kabupaten Bandung Dihubungkan Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Sampah” Karya Muhammad Adli Hakim H , NIM. 208301214, Alumni Jurusan Ilmu Hukum Tahun 2013)






PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 memuat dasar hukum pembentukan Pemerintah Daerah. Pasal 18 UUD 1945 ayat (1) menyatakan:
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang."[1]
Penyelenggaran pemerintahan daerah (otonomi daerah) di Indonesia menggunakan pola desentralisasi yang membawa konsekuensi terhadap semakin besarnya penyerahan wewenang dari Pemerintah (pusat) kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara otonom. Otonomi daerah dengan asas desentralisasi memberi kewenangan dan kesempatan yang luas kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Inti dari adanya pembagian kekuasaan antara Pemerintah (pusat) dan daerah (Pemerintah Daerah) adalah pelayanan masyarakat yang harus lebih mudah dan terjamin. Pemerintah daerah pun mempunyai tugas untuk melindungi dan menyelenggarakan hak-hak masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Undang –

Undang Dasar 1945. Salah satu hak masyarakat yang dimuat dalam Undang – Undang Dasar 1945 adalah untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berhubungan erat dengan upaya pemeliharaan kebersihan lingkungan dan pengelolaan sampah yang baik.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tingkat pertumbuhan yang tinggi secara otomatis akan mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Disamping itu, pola konsumsi masyarakat memberikan kontribusi dalam memproduksi jenis sampah yang semakin beragam dan sebagian besar sulit terurai secara alami oleh alam.
Dalam mewujudkan pemeliharaan kebersihan lingkungan, masyarakat sebagai pelaku utama dalam membentuk budaya masyarakat dalam bersikap dan berprilaku terhadap penanganan sampah perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Sikap dan prilaku yang kemudian membentuk sebuah kesadaran terhadap kebersihan lingkungan merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan lingkungan yang bersih. Banyak cara untuk menumbuhkan budaya bersih kepada masyarakat baik melalui serangkaian peraturan hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (Law as a tool of social enginering)"[2], maupun berupa pendidikan dan penyuluhan.
Undang-undang No.18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah adalah salah satu upaya pemerintah di bidang hukum untuk menanggulangi masalah sampah. Secara formil Undang-undang No. 18 Tahun 2008 mulai berlaku pada tanggal disahkan yakni pada tanggal 7 Mei 2008. Undang-undang ini secara vertikal berkaitan dengan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai dengan ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dalam rangka memenuhi hak masyarakat sesuai dengan ketentuan UUD 1945 tersebut, maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga Negara.
Selama ini belum ada kebijakan Nasional dalam pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif yang bisa menjadi payung hukum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karena itu lahirnya undang-undang No.18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah menjadi payung hukum pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif yang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat untuk memperoleh layanan pengelolaan sampah yang baik, disamping mengatur kejelasan hak, tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Disamping Undang-undang No.18 Tahun 2008, penyelesaian masalah sampah sebenarnya berhubungan juga dengan Millenium Development Goals (MDGs - Tujuan Pembangunan Millenium) yang ditandatangani oleh 149 Kepala Negara termasuk Indonesia. Ada 8 tujuan MDGs yang ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2015, yaitu: (1) teratasinya masalah kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, (2) tercapainya tingkat pendidikan dasar umum, (3) meningkatnya peran gender dan kemampuan wanita, (4) berkurangnya tingkat kematian anak-anak, (5) meningkatnya kesehatan ibu, (6) terkendalinya HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
lainnya, (7) tercapainya sustainabilitas lingkungan, dan (8) berkembangnya kemitraan global untuk pembangunan. hidup yang baik dan sehat sesuai dengan ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Dalam rangka memenuhi hak masyarakat sesuai dengan ketentuan UUD 1945 tersebut, maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga Negara.
Selama ini belum ada kebijakan Nasional dalam pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif yang bisa menjadi payung hukum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karena itu lahirnya undang-undang No.18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah menjadi payung hukum pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif yang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat untuk memperoleh layanan pengelolaan sampah yang baik, disamping mengatur kejelasan hak, tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Disamping Undang-undang No.18 Tahun 2008, penyelesaian masalah sampah sebenarnya berhubungan juga dengan Millenium Development Goals (MDGs - Tujuan Pembangunan Millenium) yang ditandatangani oleh 149 Kepala Negara termasuk Indonesia. Ada 8 tujuan MDGs yang ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2015, yaitu: (1) teratasinya masalah kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, (2) tercapainya tingkat pendidikan dasar umum, (3) meningkatnya peran gender dan kemampuan wanita, (4) berkurangnya tingkat kematian anak-anak, (5) meningkatnya kesehatan ibu, (6) terkendalinya HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
lainnya, (7) tercapainya sustainabilitas lingkungan, dan (8) berkembangnya kemitraan global untuk pembangunan.
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan persampahanmeliputi peningkatan cakupan pelayanan dari 40% pada tahun 2000 menjadi 70% pada tahun 2015 untuk mencapai total pelayanan secara nasional yang selaras dengan sasaran MDG selain memerlukan investasi sarana dan prasarana persampahan yang cukup besar juga harus didukung oleh kesiapan manajemen dan dukungan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Sebagaimana peraturan perundang-undangan lain, Undang-undang No.18 Tahun 2008 memerlukan peraturan dibawahnya untuk dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya seperti pereturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah (Perda) baik kabupaten maupun kota, dan lebih jauh lagi Peraturan Desa (Perdes).
Untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah keluarlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang pedoman pengelolaan sampah kerena diatur bahwa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-undang ini diselesaikan paling lambat satu tahun terhitung sejak undang undang disahkan.[3]
Namun perkembangan dan arah kebijakan dalam penanganan masalah sampah masih menjadi keprihatinan masyarakat di tingkat daerah khususnya di Kabupaten Bandung karena belum terlihat manfaatnya secara nyata bagi masyarakat. Padahal seharusnya kebijakan Negara tidaklah hanya berisi cetusan.pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini public juga mempunyai porsi yang sama besarnya unt uk diisikan dalam kebijakan-kebijakan Negara. Setiap kebijaksaan Negara tersebut berorientasi pada kepentingan publik.[4]
Di lingkungan kabupaten bandung, pengelolaan sampah dilaksanakan dengan dasar hukum Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 15 Tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 21 tahun2009 tentang Pengelolaan Sampah. Artinya setiap hal yang berkaitan dengan pengelolaan sampah di wilayah Kabupaten Bandung harus mengacu pada Perda Nomor 21 tahun 2012.
Sejauh ini pola penyelesaian masalah sampah di Kabupaten Bandung masih bersifat sementara dan setiap tahun memerlukan biaya yang sangat besar dengan target penyelesaiannya yang masih bersifat teoritis tanpa arah keberlanjutan yang jelas dan kurang menyentuh pada pola hidup masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan sampah belum dapat dilaksanakan sepenuhnya di tingkat daerah. Perda Kabupaten Bandung Nomor 15 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah seharusnya bisa membenahi dan memaksimalkan penanganan sampah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008.
Lembaga atau instansi pengelola persampahan merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan suatu kota atau wilayah merupakan output dari rangkaian pekerjaan manjemen pengelolaan persampahan yang keberhasilannya juga ditentukan oleh faktor-faktor lain. Kapasitas dan kewenangan instansi pengelola persampahan menjadi sangat penting karena besarnya tanggung jawab yang yang harus dipikul dalam menjalankan roda pengelolaan yang biasanya tidak sederhana bahkan cenderung cukup rumit sejalan dengan makin besarnya kategori kota”.[5]
Berdasarkan PP 8 Nomor 2003 tentang Diras Daerah maka dalam rangka efisiensi sumber daya telah dilakukan pembatasan jumlah dinas yang ada di Kota/Kabupaten. Pengelola yang semula umumnya telah berbentuk Dinas Kebersihan kemudian terpaksa digabung dengan berbagai Dinas lainnya yang pemilihannya ditentukan oleh kota/kabupaten sendiri sejalan dengan misi otonomi. Akibatnya saat ini tidak ada keseragaman bentuk lembaga pengelola persampahan sehingga menyulitkan pembinaannya. Kapasitas unit kebersihan juga mengalami penurunan kewenangan karena merupakan bagian dari Dinas induknya sehingga semakin sulit untuk membuat rencana pengembangan.
Saat ini dinas daerah yang dibentuk untuk menangani masalah sampah di Kabupaten Bandung tergabung dengan dinas perumahan dan tata ruang yaitu Dinas Perumahan, Tata Ruang dan kebersihan (DISPERTASIH).[6] Hal ini berdampak pada efektiifitas kinerja pengelola persampahan yang kurang proporsional untuk menangani masalah sampah yang sangat krusial. Pemerintah Kabupaten Bandung dinilai tidak bisa membaca prioritas dalam pembentukan organisasi perangkat daerah.
Selama ini masyarakat bertanya-tanya dimana hak mendapatkan lingkungan hidup yang bersih yang dijanjikan dalam UUD RI 1945. Masyarakat menilai bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung bertanggung jawab atas berlarut larutnya masalah penanganan sampah yang berdampak pada permasalahan lingkungan lainnya yang terjadi di Kabupaten Bandung. Tumpukan sampah di beberapa ruas jalan di Kabupaten Bandung masih sering ditemui, diantaranya di jembatan gantung Kecamatan Dayeuhkolot dan di Kecamatan Baleendah tak jarang menyebabkan kecelakaan secara langsung bagi masyarakat setempat dan pengguna lalulintas. Padahal Perda No.15 tahun 2012 dengan jelas menyatakan bahwa Pemerintah Daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan”.[7]
Dengan demikian, masalah sampah bukan hanya menjadi urusan Pemerintah pusat, namun perlu perhatian dan upaya maksimal di tingkat Pemerintahan Daerah.[8] Sejauh pembentukan Perda Kabupaten Bandung No.15 Tahun 2012 belum diimbangi dengan upaya pelaksanaan yang maksimal dan pengawasan yang memadai di lingkungan pemerintahan daerah sehingga belum tersasa manfaat yang signifikan oleh masyarakat Kabupaten Bandung.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “ Pelaksanaan Pengelolaan Sampah Di Kabupaten Bandung Dihubungkan Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Sampah”

B.        Rumusan Masalah
Untuk memperjelas fokus masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung?
2. Apa saja kendala dalam pelaksanaan pengelolaan sampah oleh Unit Kebersihan pada Dinas Perumahan Tata Ruang Dan Kebersihan diKabupaten Bandung?
3. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk menangani kendala dalam pelaksanaan Pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung?
C.        Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi mengenai pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 di lingkungan pemerintah daerah kabupaten bandung melalui Perda No.15 tahun 2012 tentang pengeolaan sampah.
    Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengelolaan sampah di Kabupaten
Bandung.
2. Untuk mengetahui apa saja kendala dalam pelaksanaan pengelolaan
sampah oleh Unit Kebersihan pada Dinas Perumahan Tata Ruang Dan
Kebersihan di Kabupaten Bandung.
3. Untuk Mengetahui bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk menangani kendala dalam pelaksanaan Pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung.
D          Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan yang bersifat teoritis maupun praktis, sebagai berikut :
1.      Bagi kegunaan teoritis (guna ilmiah), hasil penelitian ini diharapkan dapatmemberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu khususnya bagi Ilmu Hukum Tata Negara.
2.      Bagi kepentingan praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah Kabupaten Bandung dalam rangka pelayanan kebersihan kepada masyarakat.
E.         Kerangka Pemikiran
Ajaran stufentheori berpendapat bahwa suatu sisten hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber dari ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi.
Tata hukum di Indonesia merupakan suatu hirarki dari norma-norma dengan level yang berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan”.[9]
Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan memuat tata urutan pembentukan peraturan perundangundangan secara hierarkis sebagai pengejawantahan stufan des recht theory Hans Kelsen di Indonesia.
Konsekuensi logis dari adanya hirarki peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang ada di bawah harus sesuai dengan peraturan yang berada diatasnya. Maka suatu peraturan perundang-undangan hanya bisa terlaksana dengan baik apabila telah lengkap perangkat peraturannya secara hirarkis dari mulai yang paling tinggi sampai paling rendah, bersama instrumen pendukungnya.
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah menimbulkan konsekuensi bahwa pelayanan masyarakat harus lebih mudah dan terjamin. Pemerintah daerah sebagai pelaksana urusan pemerintahan di tingkat daerah mempunyai otoritas dalam menentukan kebijakan sesuai dengan potensi dan permasalahan di masing masing daerah sesuai asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pasal 18A UUD 1945 menyebutkan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Selanjutnya, dalam Pasal 18B UUD 1945 ditegaskan bahwa:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang;
 (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. [10]
Perubahan paradigma pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dikukuhkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang. Penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengedepankan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Otonomi luas, dimaksudkan bahwa kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak dan kewajiban, untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya. Disamping itu, daerah diberi keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemeberian otonomi itu sendiri terutama dalam memberikan pelayana kepada masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang, dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing masing. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Sementara itu, otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pemberlakuan otonomi daerah sebagai bentuk pembagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, memberikan konsekwensi bagi tumbuh kembangnya kreativitas daerah dalam mengatur dan mengelola potensi daerah bersama peran aktif masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf pembangunan daerah untuk kesejahteraan masyarakatnya. Prinsip-prinsip tersebut di atas, telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandiri, luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Supomo, sebagaimana dikutif oleh Rozali Abdullah menyatakan bahwa otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri, dalam kadar negara kesatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Karena itu pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.[11]
Pemerintah daerah, dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dilakukan melalui fungsi-fungsi organik manajemen pemerintahan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi merupakan sarana yang harus ada dan dilaksanakan oleh manajemen secara professional dan dalam rangka pencapaian sasaran tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
Pemerintahan daerah pada hakekatnya adalah sub-sistem dari pemerintahan nasional dan secara implisit, pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah merupakan bagian integral dari system penyelenggaraan pemerintahan. Agar maksud penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan, maka pengawasan sebagai instrument dalam manajemen organisasi pemerintahan harus berjalan dan terlaksana secara optimal.
Pemerintah Daerah pada umumnya kurang mampu menyediakan prasarana dan sarana yang diperlukan oleh penduduk wilayahnya dengan cukup, karena pemerintah daerah dihadapkan pada pertumbuhan penduduk, yang berarti pertumbuhan permintaan yang begitu tinggi. Ketidakmampuan tersebut telah menyebabkan terjadinya berbagai masalah seperti timbulnya pemukiman kumuh, terjadinya penyerobotan lahan, macetnya lalu lintas, digunakannya jalur hijau jalan untuk pembangunan, serta timbulnya masalah timbunan sampah dan pencemaran lingkungan. Sebagaimana diketahui, setiap aktivitas masyarakat pasti menghasilkan buangan yang lazim disebut sampah. Sampah didefinisikan sebagai buangan manusia atau hewan yang bersifat padat atau semi padat, yang tidak memiliki nilai guna atau nilai ekonomi, sehingga perlu dibuang.[12] Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2008 mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan manusia sehari-hari dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Sistem manajemen sampah merupakan sistem yang terkait dengan banyak pihak, mulai dari penghasil sampah seperti rumah tangga, pasar, institusi, industri,
dan lain-lain, pengelola dan kontraktor, pe:nbuat peraturan, sektor informal, maupun masyarakat yang terkena dampak pengelolaan sampah tersebut sehingga penyelesaiannya pun membutuhkan keterlibatan semua pihak terkait dan beragam
pendekatan. Pendekatan terintegrasi harus mempertimbangkan semua aspek terkait, seperti aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan institusi, politik, keuangan dan aspek teknis secara simultan.[13]
Cohen dan Uphof mengemukakan bahwa masyarakat senantiasa ikut berpartisipasi terhadap proses-proses pembangunan bila terdapat faktor-faktor yang mendukung, antara lain : kebutuhan, harapan, motivasi, ganjaran, kebutuhan sarana dan prasarana, dorongan moral, dan adanya kelembagaan baik informal maupun formal. Karena di dalam persoalan sampah adanya keinginan dari masyarakat untuk hidup nyaman maka masyarakat perlu berpartisipasi dalam penanganan masalah sampah.[14]
Selain itu pelaksanaan penanganan sampah memerlukan pengawasan yang intensif agar kinerja pengelolaan sampah selalu terpantau dengan baik dan tujuannya bisa tercapai sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Dengan pengawasan akan diketahui apakah tujuan yang akan dicapai telah dilakukan dengan berpedoman pada rencana yang telah ditetapkan terlebih dahulu atau tidak.
Pengawasan sendiri diartikan sebagai:
"proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk
menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan
berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya”.[15]
oleh karena itu pengawasan diadakan dengan maksud:[16]
1. Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak;
2. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahankesalahan yang sama, atau timbul kesalahan baru;
3.Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah direncanakan; 
4. Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak;
5. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam planning, yaitu standar.
Pemerintah Kabupaten Bandung serta pihak yang terkait dalam proses penanganan sampah dapat berperan dengan baik apabila telah melakukan tugas penanganan sampah sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan melaksanaannya sesuai demgan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.
F.           Metode penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara untuk menyelidiki atau meneliti suatu masalah dan merupakan cara untuk mengumpulkan data dari masalah yang akan diteliti agar dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Soerjono Soekanto mengemukakan pengertian penelitian, sebagai berikut:[17]
“penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa atas dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya. Hal ini terutama di sebabkan oleh karena penggunaan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan agar manusia lebih mengetahui dan lebih mendalami"
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Adapun alasan peneliti menggunakan metode ini karena ruang lingkup penelitian adalah melakukan studi hukum terhadap praktek di lapangan dalam hal ini menjelaskan mengenai bagaimana pelaksanaan pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam kajian ini adalah data sekunder di bidang
hukum yang dibedakan atas :[18]
a. Bahan-bahan hukum primer, diperoleh dengan mengkaji bahan-bahan hukum yang mengikat seperti Pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar RI Tahun 1945, Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan menteri dalam negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang pedoman pengelolaan sampah, dan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.
b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu data-data yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, adalah:
1) Rancangan peraturan perundang-undangan.
2) Hasil karya ilmiah para sarjana.
3) Hasil-hasil penelitian.
c. Bahan hukum tersier, yaitu data-data yang memberikan informasi tentang bahan primer dan bahan sekunder, seperti:
1) Bibliografi.
2) Indeks kumulatif.
3. Jenis Data
Adapun jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bedasarkan rumusan masalah, yaitu:
a. Aturan pelaksanaan pengelolaan sampah di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
b. Data pelaksanaan pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung berdasarkan aturan pelaksanaan yang berlaku.
Jenis data yang demikian disebut dengan data kualitatif, yaitu data yang dijelaskan dengan kalimat-kalimat secara deskriptif.[19]
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dipilih dalam peneilitian ini adalah:
a. Studi Dokumentasi atau bahan pustaka, yaitu kegiatan mengumpulkan data yang bersumber dari buku-buku, jurnal, laporan penelitian, makalah, majalah, artikel, internet dan kepustakaan lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
b. Wawancara, yaitu kegiatan pengumpulkan data dengan komunikasi
langsung dengan pihak yang kompeten dengan persoalan yang diteliti. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan Kepala Bidang Kebersihan di Dinas Perumahan, Tata Ruang, dan Kebersihan Kabupaten Bandung atau petugas yang ditunjuk untuk mewakilinya.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dikaji, diolah dan dianalisis dari semua data yang bersumber dari dokumen, studi pustaka, dan wawancara. Dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti;
b. Mengklasifikasikan data yang dibutuhkan;
c. Menginventarisir data-data yang sudah dikumpulkan;
d. Meneliti data yang sudah ada kemudian dipilih sesuai dengan rumusan
masalah;
e. Mengkaji data yang ada;
f. Menghubungkan data yang sudah ada dengan data yang dibutuhkan sesuai dengan rumusan masalah.




G. Sistematika Penulisan
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB 1    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penelitian
D.    Kegunaan Penelitian
E.     Kerangka Pemikiran
F.      Metode Penelitian
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A.    Pengaturan Sampah Menurut Peraturan Perundang – undangan
B.     Sistem Pemerintahan Daerah
C.     Kewenangan dan Perangkat Pemerintahan Daerah
1.      Kewenangan Pemerintahan Daerah
2.      Organisasi Perangkat Daerah
D.    Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
BAB III PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BANDUNG DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
A.    Pelaksanaan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bandung
1. Gambaran umum
2. Kelembagaan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bandung
B.     Kendala Dalam Pelaksanaan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bandung
1, Menurunya Kapasitas Kelembagaan Pengelola Sampah
2. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Pengangkutan Sampah
3. Tidak adanya Peraturan Desa Tentang Pengelolaan Sampah
4. Rendahnya Kesadaran Masyarakat
C.     Upaya Yang Bisa Dilakukan Untuk Menangani Kendala Dalam Pelaksanaan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bandung.
1. Penguatan Kualitas SDM dan Pengawasan Pada Lembaga Pengelolaan Sampah
2. Membangun Kemitraan Dengan Pihak Swasta
3. Membentuk Peraturan Desa Mengenai Pengelolaan Sampah
4. Memperbanyak Sosialisasi Dan Pembinaan Masyarakat
BAB IV .. PENUTUP
A.        Kesimpulan
B.         Saran
DAFTAR PUSTAKA





DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Jimly Assidiqie, dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum “,Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2006.
M. Irfan Islamy, Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta : Bumi Aksara Cetakan ke-14.  .2007.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep- Konsep Hukum Dalam Pembangunan.Bandung : Alumni, 2002.
Rony Hanitijo Soemitro, Pengantar Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif.  Jakarta : Rajawali Press, Cetakan III, 2002.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1986.
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta:  Ghalia Indonesia, Cetakan II, 1986.
Viktor M Situmorang, dkk., Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta: Rineka Cipta Cetakan II, 1998.
b. Peraturan Perundang – undangan
UUD NRI 1945
UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
Peraturan menteri dalam negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang pedoman pengelolaan sampah
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.
c. Internet
www.wikipedia.com, <diakses pada tanggal 13 Agustus 2012>
www.detiknews.com/dalam-negeri, <diakses tanggal 11 februari 2012>
www.Facebook.com/forumadvokasi/mainarticle. <diakses tanggal 13 Maret 2012>
d. Karya Tulis
SJ Taylor dan R.Bogan, Introduction do Qualitative Research Methods : The Search For Meanings, diterjemahkan oleh Ivan-Pengumpulan analisis data kualitatif.pdf









[1] Pasal 18 Ayat (1) UUD NRI 1945
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep- Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Alumni, Bandung, 2002, hlm.21
[3] Pasal 47 ayat (1) UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
[4] M. Irfan Islamy, Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Cetakan ke-14. Bumi Aksara. Jakarta.2007, hlm.35
[5] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.21 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan.Hlm.7
[6] www.Bandungkab.go.id/lembaga-daerah//
[7] Pasal 6 Perda Kabupaten Bandung No.15 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah
[8] Pertimbangan Huruf (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.33 Tahun 2010 tentang Kelembagaan Daerah
[9] Jimly Assidiqie, dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum “, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia : Jakarta, 2006, Hlm. 10
[10] UUD NRI 1945
[11] Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif. Rajawali Press, Jakarta, Cetakan III, 2002, hal. 11.
[12] www.wikipedia.com, diunduh pada tanggal 13 Agustus 2012.
[13] www.detiknews.com/dalam-negeri, diunduh tanggal 11 februari 2012
[14] www.Facebook.com/forumadvokasi/mainarticle. Diunduh tanggal 13 Maret 2012
[15] Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan II, 1986.hlm.14
[16] Viktor M Situmorang, dkk., Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta, Rineka Cipta Cetakan II, 1998, hlm.22.
[17] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1986, hlm.3
[18] Rony Hanitijo Soemitro, Pengantr Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Hlm. 53
[19] SJ Taylor dan R.Bogan, Introduction do Qualitative Research Methods : The Search For Meanings, diterjemahkan oleh Ivan-Pengumpulan analisis data kualitatif.pdf, hlm.23.

Komentar

Postingan Populer